3: Rencana Pertama

30.3K 3K 262
                                    

"... kembali hadir di hadapan Anda, bersama saya Laras Sjahrir, dengan serangkaian informasi yang telah dihimpun oleh tim redaksi kami, antara lain ...."

"Mas! Mas Dipa! Mas!"

Dipa sedang di toilet ketika mendengar namanya dipanggil-panggil.

"Mas Dipa!"

Tak lama bukan hanya namanya yang dipanggil, melainkan juga pintu toilet digedor-gedor.

"Sabar!" balas Dipa, setengah berteriak dari balik pintu. "Lagi boker! Kenapa sih?"

"Udah mulai, Mas!"

"Hah?! Emang udah jam tujuh?"

"Udah, Mas!"

"Sial."

Cepat-cepat Dipa menyelesaikan hajatnya. Setelah itu dia tergesa-gesa keluar dari toilet dan bergabung dengan Vito, salah satu adiknya di panti yang tadi memanggil-manggil namanya, duduk di lantai menonton TV.

"Yah, Mas Dipa telat. Si Lara Sjahrir udah muncul tadi," celetuk Vito.

"Laras Sjahrir," ralat Dipa.

"Iya, Lara Sjahrir."

"Vit, dengerin Mas Dipa nih. LaraSSSSSSS Sjahrir. Laras. Bukan Lara."

"Oh."

Vito tak peduli apakah nama pembaca berita yang ada di layar TV adalah Lara Sjahrir ataukah Laras Sjahrir. 

Namun, bagi Dipa itu penting. 

Setiap hari Dipa tak pernah absen duduk di depan layar TV menonton Laras membawakan berita. Itu sebabnya pengetahuan umum Dipa sangat luas.

Malam itu, Dipa melewatkan bagian favoritnya dari acara berita pukul tujuh malam, yaitu saat Laras menyapa pemirsa dan menyebutkan namanya. 

Itu semua karena Dipa menghabiskan terlalu banyak waktu di toilet. Mengapa Dipa mendekam begitu lama di toilet? Karena pikirannya sibuk melayang kemana-mana!

Tepatnya ke kejadian tadi siang. Lantaran dimarahi Pak Budi karena terlalu berisik di depan ruang guru, akhirnya Dipa dan Eda terpaksa menjelaskan perihal undian Kopi Cap Badak yang mereka menangkan.

"Ya udah, kenapa ribut? Bagi dua aja hadiahnya, gampang toh?"

"Nggak bisa, Pak," sela Eda. "Saya yang ngambil stoples itu. Jadi, saya berhak mendapatkan seratus juta itu sepenuhnya."

"Jadi begini, Pak. Seandainya saya nggak minta Eda untuk beli Kopi Cap Badak, apakah menurut Bapak mungkin Eda mengambil stoples itu?" timpal Dipa.

Pak Budi mengernyit. Kepalanya pening direcok kedua muridnya yang berseteru itu. "Kalian udah sikat WC belum?"

"Belum, Pak."

"Sikat dulu WC itu, baru bicara!" semprot Pak Budi. "Saya sita stoples ini sampai kalian selesai!"

"Siap, Pak!"

Dengan segera Dipa dan Eda berlari menuju toilet, menyambar alat-alat pembersih, menyiramnya dan membersihkan sekuat tenaga.

"Dip, lo nggak malu ya ngaku-ngaku hadiah itu adalah hak elo?" celetuk Eda, sambil dengan agresif menuang cairan pembersih sebanyak-banyaknya hingga dia terbatuk mencium baunya.

"Kenapa mesti malu? Itu hak gue. Elo kali yang mestinya malu!" sahut Dipa, menyikat kencang-kencang hingga air memercik.

Dipa dan Eda tak bicara banyak sambil membersihkan WC. Mereka berdua ingin cepat-cepat selesai dan mengambil hadiah mereka. 

RIVAL [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang