"Hai Eda, kamu kenal dekat dengan Pradipta?"
Demikian bunyi pesan balasan untuk Eda dari Laras di aplikasi Instagram. Laras Sjahrir menjawab pesannya! Eda terkesiap. Dia sampai mendekap mulutnya dengan tidak percaya.
Awalnya, Eda sempat curiga apakah Laras betul-betul adalah ibu dari Dipa. Rasa penasaran itulah yang mendorong Eda untuk begitu nekat menghubungi Laras lewat Instagram. Eda sungguh tak menyangka Laras akan membalas pesannya.
"Saya temannya, Mbak," balas Eda. "Belum lama kenal, tapi belakangan saya sering main sama Dipa. Apa Mbak Laras kenal dengan Dipa?"
Eda membalas pesan Laras dan kembali mengulang pertanyaannya. Balasan dari Laras lagi-lagi mengejutkan Eda.
"Saya tau Pradipta ... sudah lama sekali. Gimana kabarnya? Oh ya, jangan bilang dia kalau kamu kontak saya, ya. Kemungkinan dia kurang senang mendengarnya."
Pesan balasan yang aneh, membuat Eda semakin penasaran. Eda pun lanjut membalas pesan tersebut.
"Dipa baik, Mbak. Iya, saya ngga bilang Dipa. Tapi ... kenapa dia kurang senang kalau tau saya kontak Mbak Laras?"
Kemudian datanglah balasan yang semakin membuat Eda tercengang. Laras tak menjawab pertanyaan Eda. Dia malah mengajak bertemu.
"Eda, Sabtu ini kamu ada waktu? Kalau iya, boleh kita ketemuan jam satu siang? Di Quaker Cafe, lokasinya di lobby gedung INC TV."
Eda menyanggupi pertemuan tersebut. Dia sedang bertandang ke panti asuhan Dipa ketika menyadari jam sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Eda ingin sekali menghabiskan waktu lebih lama lagi dengan Dipa, namun sudah saatnya untuk pergi dan menemui Laras.
Eda begitu gugup. Dia memang sudah sering melihat Laras di televisi, tetapi tetap saja telapak tangannya berkeringat dingin seiring dengan langkahnya yang mendekati Quaker.
Saat mendorong pintu kafe, Eda menangkap sosok perempuan yang duduk di dekat jendela. Satu tangannya menopang dagu, memandang ke arah luar jendela. Satu tangannya lagi mengaduk-aduk isi cangkir di hadapannya dengan gerakan sangat lambat.
Eda menarik napas dalam-dalam. Sosok itu adalah Laras, dia mengenalinya. Berpakaian lebih santai dari yang terlihat di televisi, Laras mengenakan kaus lengan panjang putih dan celana jins biru. Rambut sebahunya yang sedikit bergelombang dibiarkan jatuh menutupi sebagian wajahnya. Jantung Eda berdegup cepat.
"Pe-permisi," sapa Eda. "Mbak Laras?"
Sosok itu menoleh mendengar namanya dipanggil. Memang, dia adalah Laras. Senyum Laras mengembang. Detik itu juga Eda teringat Dipa. Apa jadinya kalau Dipa ada di sana saat itu? Mungkin sudah pingsan saking terpesonanya.
"Hai," sapa Laras. Dia berdiri dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman. "Eda, ya? Saya Laras. Silakan duduk."
Eda begitu tersihir. Perempuan ini sangat sopan, ramah, cantik, dan memiliki pembawaan yang menyenangkan. Laras terkesan begitu sempurna, membuat Eda semakin gugup.
"Makasih ya, udah mau meluangkan waktumu untuk saya hari ini," ucap Laras.
"Sa-sama ... sama-sama," balas Eda, terbata-bata.
"Kamu mau pesan apa, Eda?"
"A-apa aja, Mbak."
"Pollo picante di sini enak. Mau coba?"
Eda hanya mengangguk. Dia terlalu gugup untuk berpikir. Laras memesankan makanan untuk mereka berdua. Saat sedang menunggu pesananlah Eda memberanikan diri untuk bertanya.
"Mbak Laras ... maaf, sa-saya cuma penasaran aja, Mbak Laras gimana bisa kenal Dipa?"
Laras tersenyum, lalu menyeruput minumannya. Dari aromanya, Eda yakin isi cangkir itu adalah kopi yang cukup kuat rasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RIVAL [Sudah Terbit]
Teen Fiction[SEGERA TERBIT] Jika kamu dan seorang yang baru saja kamu kenal memenangkan undian seratus juta, apa yang akan kamu lakukan? Well... ngga tau sih denganmu, tapi Pradipta dan Dwenda langsung rebutan. Setelah disita Pak Budi, Dipa dan Eda terpaksa be...