26: Ketika Dipa Tahu

15.4K 1.9K 90
                                    

Sebelum membaca...
Hai! Di bab ini, saya sisipin lagu instrumental sebagai background sambil baca :))) Gerald Situmorang - Raining Flowers. Silakan play video di atas dan dengerin lagunya sambil baca. Enjoy, semoga terhibur!

(, ")

Dipa takkan pernah lupa hari itu, tepatnya setahun yang lalu, hari yang begitu bersejarah dalam hidupnya. Pasalnya, murid-murid SMA Harapan dipulangkan lebih awal karena ada rapat dadakan untuk para guru.

Dipa sedang berjalan kaki sambil bersiul-siul ketika dia menyadari ada sebuah mobil sedan hitam besar yang berhenti di seberang panti. Dipa mengernyit. Mobil mewah itu milik siapa?

Dari balik kaca mobil yang gelap, Dipa melihat sosok perempuan yang duduk di kursi belakang. Perempuan tersebut sedang berkutat dengan ponselnya, namun Dipa tak bisa melihat wajahnya.

Mungkin donatur. Mungkin juga calon orangtua yang mau mengadopsi. Atau bisa jadi juga hanya tamu dari rumah-rumah di sekitar panti. Dipa mengangkat bahu dan masuk.

Dipa sudah membayangkan segarnya air dingin saat mandi dan nyamannya merebahkan diri di kasur setelahnya. Dia berjalan menyusuri lorong panti menuju kamarnya, melewati dapur, ruang tamu, dan kantor Bu Isma. Ketika itulah dia mendengar namanya disebut.

"... Dipa butuh kejelasan siapa orangtuanya. Bukannya itu janjinya Dek Laras dulu waktu nitipin Dipa di panti? Bapak sendiri yang jadi saksi, kan?"

Deg! Dipa buru-buru merapat ke tembok. Dia tak pernah menguping sebelumnya, namun mendengar namanya disandingkan dengan kata 'orangtua', Dipa langsung penasaran.

"Iya, Bu. Tapi Non Laras rasa, lebih baik menunggu hingga Pradipta dewasa."

"Menunggu hingga dewasa? Dipa sudah 17 tahun! Sudah punya KTP, apa menurut Dek Laras masih belum cukup umur juga untuk diberitahu siapa orangtuanya?"

Dipa mengintip ke dalam kantor Bu Isma. Wajah Bu Isma terlihat gusar dan putus asa. Di hadapannya duduk seorang bapak tua berpakaian safari hitam. Di antara mereka ada amplop putih.

"Maaf, Bu. Saya cuma menyampaikan apa yang diminta Non Laras."

"Kenapa Dek Laras ngga pernah datang ke sini? Apa Dek Laras akan datang suatu hari atau selamanya jadi pengecut?"

Bapak itu hanya diam saja. Bu Isma menghela napas. Bu Isma beranjak. Dibukanya lemari arsip dokumen-dokumen anak-anak panti. Ditariknya sebuah map dan diselipkannya amplop putih tersebut.

"Apa Bapak datang dengan Dek Laras hari ini?" tanya Bu Isma.

Bapak itu lagi-lagi hanya diam saja. Bu Isma menyibakkan tirai jendel kantornya yang besar. Dari jauh, Dipa bisa melihat ada sosok perempuan yang kini berdiri menyandar pada pintu mobil hitam yang terparkir di depan panti. Dipa menelan ludah.

"Dek Laras ngga mau bertemu dengan saya atau Dipa? Dia cuma mau melihat dari jauh saja?"

Bapak itu lagi-lagi tak menyahut apa-apa. Bu Isma kembali membiarkan tirainya menutup jendela.

"Maaf, Bu. Saya harus pergi sekarang." Bapak itu beranjak dari kursinya.

"Tolong sampaikan ke Dek Laras, Pak. Dipa memang butuh uang untuk kebutuhannya hidup. Tapi yang lebih dia butuhkan lagi pengakuan dari ibunya. Semoga Dek Laras bisa terbuka pintu hatinya."

Bapak itu hanya mengangguk dan pamit. Mendengar langkah kaki mereka mendekat, cepat-cepat Dipa pergi. Diam-diam Dipa membuntuti Bu Isma yang mengantarkan bapak tersebut ke gerbang panti. Perempuan yang tadinya berdiri di luar sudah masuk kembali ke mobil.

"Kalau begitu, saya pamit dulu, Bu."

"Mari, Pak. Saya mohon, sampaikan ke Dek Laras apa yang saya katakan tadi. Tolong pikirkan juga perasaan Dipa."

Dipa cepat-cepat bersembunyi saat Bu Isma bergerak untuk kembali masuk ke panti. Terdengar suara Bu Isma menghela napas. Bu Isma berjalan menuju kamar mandi dan saat itulah Dipa menyelinap ke kantornya.

Dipa tak pernah terpikirkan untuk masuk ke kantor Bu Isma dan mengambil arsip tentang dirinya sendiri sebelumnya. Untuk apa?

Di map itu paling hanya ada keterangan biasa seperti setiap anak lain di panti. Buku imunisasi, fotokopi rapor, ijasah, dan lain-lain. Yang jelas tak mungkin ada keterangan tentang orangtuanya.

Namun, sore itu Dipa menyelinap masuk dan mencari map bernamakan Pradipta di antara tumpukan map lain dalam lemari arsip Bu Isma.

Pradipta Syailendra. Saat kecil, Dipa pernah bertanya pada Bu Isma, mengapa dia diberi nama Pradipta Syailendra? Apa artinya?

"Pradipta itu artinya cahaya. Syailendra adalah nama sebuah kerajaan."

Bu Isma hanya menjelaskan arti namanya, namun Bu Isma tak menjawab mengapa Dipa diberikan nama tersebut. Sore itu Dipa tahu jawabannya, sebab bukan Bu Isma yang memberi nama tersebut padanya. Tidak seperti Vito, Bayu atau yang lainnya.

Jantung Dipa seolah berhenti sesaat. Dunia seolah menjadi sunyi sejenak ketika Dipa membuka map bertuliskan namanya.

Ada sebuah akta lahir bertuliskan namanya. Pradipta Syailendra, lahir 24 September 1999, anak dari Laras Sjahrir. Ada sebuah amplop putih persegi panjang yang masih bersih.

Dipa menemukan selembar cek di dalamnya dengan nominal dua ratus juta Rupiah. Sebuah catatan kecil melampiri cek tersebut.

Bu Isma, ini untuk biaya kuliah Dipa.
- Laras.

Demikian tertulis di catatan kecil tersebut. Dipa menelan ludah. Ada pula amplop putih lain yang sudah menguning

Untuk Bu Isma.

Ada tulisan tangan yang sama dengan secarik kertas tadi di atas amplop tersebut. Dipa membuka amplop itu dan menemukan sebuah surat.

Bu Isma, saat Ibu membaca surat ini, saya sudah dalam perjalanan kembali ke Amerika. Maaf, saya ngga sempat menjelaskan banyak kemarin ini. Tapi, saya minta tolong supaya Pradipta dirawat di panti asuhan ini sampai saya kembali lagi. Saya akan kembali, saya pasti akan kembali untuk Pradipta, anak saya, suatu hari nanti. Terima kasih untuk segala kebaikan Bu Isma.
- Laras.

Lutut Dipa serasa lemas membacanya. Saat itu dia mendengar suara pintu toilet membuka. Dipa segera mengembalikan semua dokumen kembali seperti sedia kala. Dia bergegas keluar dari kantor Bu Isma, bahkan setengah berlari, menuju gerbang panti.

Napas Dipa tersengal. Dia bertumpu pada kedua lututnya. Pradipta Syailendra, lahir 24 September 1999, anak dari Laras Sjahrir. Kalimat itu terus menerus terngiang di kepalanya. Laras Sjahrir adalah ibunya dan ibunya itu masih hidup!

Mata Dipa mengerjap. Mungkinkah perempuan tadi Laras Sjahrir? Mungkinkah itu ibunya?

Saat itulah mata Dipa menangkap sesuatu di jalanan aspal sebrang panti. Dipa melangkah menghampiri benda tersebut. Ternyata sebuah kartu tanda pengenal dengan tali berwarna biru. Ada tulisan besar INC TV di kanan atas.

Laras Sjahrir. News Broadcast. N0069526.

Jantung Dipa berdebar kencang. Pasti perempuan tadi menjatuhkannya saat keluar dari mobil. Kartu tersebut milik Laras Sjahrir. Seketika tubuh Dipa terasa lemas. Laras Sjahrir adalah ibunya, ibu kandungnya.

(, ")

Hai, readers! Terima kasih banyak ya, sudah baca lanjutan dari Rival. Tunggu lanjutannya nanti sore, ya. Hari ini double update! :)))

Salam,
Feli

P. S. Readers, sebagai pembaca Belia Writing Marathon Batch 2, kamu berkesempatan memenangkan 1 paket gratis berlangganan Buku Bentang Belia selama 1 tahun untuk 1 orang pemenang dan 3 paket gratis seluruh novel hasil BWM Batch 2 untuk 3 orang pemenang. Caranya? Gampang banget! Kamu harus cukup aktif memberikan vote dan komentar untuk cerita BWM Batch 2 di akun Wattpad @beliawritingmarathon. Pemenang akan dipilih berdasarkan undian.

***********

Trivia! ^o^

69526 itu nomor ID saya di kantor hihihi...

RIVAL [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang