"Eh Yo... itu, apa... si Eda kelas berapa sih?"
Dio yang baru duduk di kursinya langsung ditanya Dipa perihal Eda. Wajah Dio yang tadinya melongo berubah. Dia tersenyum-senyum menjijikkan.
"Ih... nanyain Eda lagi. Beneran naksir ceritanya?"
Dipa mendecak. "Jangan ngegosip lo. Gue ada urusan sama dia."
"Kemarin kan udah gue kasih nomor HPnya?"
"Justru itu. Urusan tak terselesaikan di HP. Gue mau datengin ke kelasnya."
"Dia anak IPA 2, Dip. Sukses ya! Gue harap elo tidak lagi menjadi jomblo orok. Yeay! Semangat! Ummph!"
Dio berusaha membebaskan diri dari Dipa yang membekap mulutnya. "Dibilangin jangan ngegosip!"
Setelah Dio minta ampun di balik tangan Dipa dengan suara melengking seperti tikus kejepit, barulah Dipa melepaskan tangannya sambil terkekeh. Dipa keluar kelas dan berjalan menuju kelas 3 IPA 2.
"Permisi..." Dipa menjejakkan kakinya ke kelas itu. Entah kenapa, setiap kali mengunjungi kelas orang, rasanya kelas itu lebih bagus daripada kelasnya sendiri. Memang mungkin rumput tetangga selalu lebih hijau ya? Beberapa murid yang tengah duduk bercengkrama menoleh mendengar suara Dipa.
"Eda ada ngga?" tanya Dipa.
Murid-murid itu cuma menatap Dipa dengan mulut menganga. Tidak ada satu pun yang menjawab. Dipa jadi salah tingkah. Ternyata walau kelasnya lebih bagus, sepertinya anak-anak IPA 2 ini lebih bolot daripada IPA 5.
"Lo pada tau ngga Eda di mana?" Dipa mengulang pertanyaannya.
"Eda hari ini ngga masuk," seorang murid perempuan berambut keriting tiba-tiba berdiri. Dia adalah Hanum. "Elo Dipa kan? Ada perlu apa? Nanti gue sampein."
"Ngga masuk?" Dipa mengernyit. "Oh. Kenapa?"
"Ngga tau deh. Gue nanya belum dibalas lagi. Katanya dia udah ijin ke wali kelas."
"Oh gitu."
"Nanti gue sampein kalo ada perlu," ulang Hanum.
"Ngga apa-apa. Nanti aja kalo dia udah masuk. Makasih ya." Dipa mengangguk sekilas lalu pergi.
Aneh. Kenapa Eda tidak masuk sekolah ya? Padahal Eda sempat membalas pesan Whatsapp Dipa pukul tiga dini hari tadi.
Ketika Dipa bangun, ponselnya menghujani Dipa dengan hal-hal yang membuatnya segera berjoget di ranjang. Pertama, saat Dipa mengecek Instagram Story-nya yang terakhir, dia melihat nama Laras Sjahrir tertera sebagai salah satu pengikut akunnya yang melihat Instagram Story tersebut. Kedua, Eda akhirnya membalas pesannya sehingga Dipa tak perlu kehilangan muka.
Pesan Eda pun sangat memuaskan hati Dipa. "Iya, ngga apa-apa, Dip. Gue juga minta maaf ya, karena rencananya gagal dan gue seenaknya aja ngerebut HP lo."
Tadinya dia mau ikutan Eda, menganggurkan pesan yang sudah terbaca selama dua belas jam sebelum membalasnya. Namun Dipa tidak tahan. Selesai mandi, dia menjawab pesan Eda.
"Iya, Da. Saling memaafkan. Nanti jam istirahat pertama lo ngapain? Gue ada ide baru buat ngambil toples kopi itu dari Pak Budi."
Namun pesan Dipa tersebut tak kunjung dibaca Eda bahkan hingga Dipa tiba di sekolah. Itulah yang membuat Dipa memutuskan untuk langsung saja mendatangi Eda di kelasnya dan mengajaknya bicara. Sayangnya Eda tidak masuk sekolah. Kenapa, ya? Apa Eda sakit?
Bisa jadi Eda sakit. Dia membalas pesan Dipa di jam yang tidak lazim. Pukul tiga pagi? Mungkin Eda terbangun tengah malam. Atau jangan-jangan tuduhan Pak Budi benar? Jangan-jangan Eda ikut anggota geng, atau pengikut dunia maksiat? Makanya dia masih terjaga pukul tiga pagi. Makanya Eda butuh uang. Makanya Eda tidak segera menyangkal seperti Dipa saat Pak Budi menuduh mereka butuh uang untuk maksiat? Hiiiy...!
Tapi, masa' iya Eda yang anak teladan di sekolah itu aslinya berandalan? Lagipula, tampang Eda tidak seperti itu. Tapi juga, pergaulan anak jaman sekarang kan begitu liar. Mana ada yang tahu? Makanya Eda memohon Pak Budi supaya tidak memberitahu ibunya. Ibu mana yang tidak akan terkejut ketika tahu anaknya terjerumus pergaulan sesat?
Dipa menepuk-nepuk pipinya. Jangan berprasangka buruk, Dip, jangan! Boleh jadi Dipa anak yatim piatu. Boleh jadi Dipa tak pernah kenal didikan orang tua sendiri. Tapi bukan berarti Dipa anak yang tidak punya moral. Dia selalu dididik di panti untuk tidak memilik prasangka buruk terhadap orang lain.
Kriiiing!
Bel tanda masuk berbunyi. Bersama murid-murid yang lain, Dipa segera masuk kelas.
"Contoh di buku teks ini adalah paragraf deduktif. Apa ciri-ciri paragraf deduktif? Coba baca yang benar kalimat-kalimat di paragraf ini. Kalimat pertama..."
Pelajaran pertama adalah pelajaran Bahasa Indonesia dan Dipa sama sekali tak bisa berkonsentrasi. Asli, dia betul-betul penasaran dengan Eda. Apa yang terjadi pada dirinya ya? Diam-diam Dipa mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Dengan pandangan mata masih menatap Pak Sutan yang mengajar di depan, Dipa mengetik.
";) da, lo kdnapa hafi jnj ga nasik?"
Dipa menatap layar ponselnya dengan pandangan horor. Apa pula yang barusan diketik dan dikirimnya ke Eda?! ;)??? Kdnapa??? Hafi??? Jnj??? Nasik??? Yang paling membuat Dipa risih adalah emoticon ;) tersebut. Sungguh, dia tidak bermaksud menggoda Eda!
Dipa meletakkan ponselnya di atas meja. Dia buru-buru mengetik lagi. "Da, tadi gue ngetik ngga liat layar. Sori. Maksud gue, lo kenapa hari ini ga masuk?"
"Pradipta!"
Dipa tersentak mendengar namanya dipanggil. Barusan Pak Sutan menegurnya. Dipa celingukan. Semua mata tertuju padanya sekarang.
"Coba kamu kasih tau saya, dari tiga paragraf tadi, yang mana yang termasuk paragraf deduktif?"
Dipa menelan ludah. Yang mana Waduh...
"Ngg... tiga paragraf yang mana ya, Pak?" cicit Dipa.
"Makanya, kalau lagi pelajaran itu didengarkan! Jangan malah mainan HP!" omel Pak Sutan, segera berjalan menghampiri Dipa.
Sesuai ketakutan Dipa, Pak Sutan menyita ponselnya. "Anu, Pak... ngg... hati-hati ya sama ponselnya?" Dipa meringis.
Pak Sutan hanya melotot, kemudian lanjut mengajar. Dipa menarik napas dalam-dalam. Gara-gara pengen tau soal Eda, sih! Makanya, Dip, jadi orang ngga usah kepo! Dipa memarahi dirinya sendiri dalam hati.
Sialnya, karena ponselnya disita, Dipa justru jadi makin resah. Dia semakin penasaran apa yang terjadi pada Eda. Siapa tahu Eda membalas pesannya. Siapa tahu Laras Sjahrir me-like salah satu fotonya. Lho, kok ngga nyambung ya? Ah, bodo! ucap Dipa dalam hati. Setiap kali dia jauh dari ponselnya, biasanya kemudian dia mendapat kejutan baik. Siapa tahu kali ini juga begitu.
Hmm... si Eda kenapa sih? Dipa bicara sendiri dalam hati. Ngga, bukannya khawatir. Penasaran aja. Ngga penasaran juga deng. Pengen tau aja. Sebenernya juga ngga pengen tau banget, tapi... ya pokoknya gitu deh!
(, ")
Hai, readers! Makasih udah baca lanjutan cerita Dipa dan Eda. Akhirnya mereka berdua sadar, kalau marahan terus, gimana bisa ngerebut hadiah undian mereka kembali dari Pak Budi? Tapi giliran Dipa udah punya rencana dan menggebu, Eda malah ngilang. Kemana, sih?
Tunggu kelanjutannya hari Kamis ya... :)))
Oh ya, kali ini double update dengan profilnya Dipa. Silakan lanjut dan met membaca!
Salam,
Feli
***********
Trivia! ^o^
Untuk bisa menghasilkan tulisan ";) da, lo kdnapa hafi jnj ga nasik?", saya beneran ngetes ngetik di HP dengan pandangan lurus ke depan tanpa ngelihat layar ^^"
KAMU SEDANG MEMBACA
RIVAL [Sudah Terbit]
Teen Fiction[SEGERA TERBIT] Jika kamu dan seorang yang baru saja kamu kenal memenangkan undian seratus juta, apa yang akan kamu lakukan? Well... ngga tau sih denganmu, tapi Pradipta dan Dwenda langsung rebutan. Setelah disita Pak Budi, Dipa dan Eda terpaksa be...