29: Every Tear Has Its Reason

16.4K 1.8K 108
                                    

Sebelum membaca...
Hai! Di bab ini, saya sisipin lagu instrumental sebagai background sambil baca :))) Lee Namyeon - Four Hands. Silakan play video di atas dan dengerin lagunya sambil baca. Enjoy, semoga terhibur!

(, ")

Setahun yang lalu ....

"Non Laras beneran ngga mau turun?"

Laras melempar tatapan sendu ke luar jendela, ke arah sebuah bangunan panti asuhan. "Ngga, Pak. Bapak aja yang turun. Ngga apa-apa, kan?"

Pak Ode, supir pribadi Laras yang sudah sekian lama mengabdi pada keluarganya mengangguk, meskipun merasa berat hati. Di tangannya ada sepucuk surat bertuliskan 'Untuk Bu Isma'.

"Oh ya, Non. Besok Tuan jam lima sore tiba di Jakarta. Besok Non libur, kan? Saya harus jemput Tuan di bandara."

Laras memijat batang hidungnya. Tadinya sih dia memang libur, namun mendengar bahwa ayahnya sudah kembali, sepertinya Laras berniat untuk mengganti jadwalnya.

"Tuan bilang, malamnya Non disuruh ke rumah. Ada keluarganya Mas Gilang dan Mas Brahma juga."

Laras perlahan mengembuskan napas. Makan malam di rumah ayahnya? Beserta dengan kedua kakaknya dan keluarga mereka? Fix. Laras akan mengganti jadwalnya untuk besok.

"Ngga bisa, Pak," ucap Laras. "Saya baru dapet kabar, disuruh masuk besok dan lusa."

"Lho, katanya libur, Non?"

"Iya. Tukeran jadwal nih, ada yang mendadak ngga bisa."

"Tapi, Tuan katanya di Indonesia cuma lima hari lho, Non. Besok-besoknya juga diundang ke acara–"

"Abis gimana, Pak? Saya juga harus kerja." Laras memaksakan tawa.

Pak Ode diam-diam menghela napas. Dia tahu 'majikan kecil'–nya ini hanya beralasan saja. Sedari dulu juga seperti itu, selalu menghindari ayahnya sendiri. Terlebih sejak ibunya sudah tiada, Laras semakin jauh dari ayahnya.

"Tapi, besok berarti Non pulang pergi gimana?"

"Saya nyetir sendiri aja, Pak. Ngga apa-apa."

"Non Laras, mungkin saya bukan siapa-siapa dan ngga pantas nasehatin Non kayak gini. Tapi, Tuan kan udah makin tua, masa' Non Laras ngga mau menghabiskan waktu sama Tuan begitu ada kesempatan? Saya ngga mau Non Laras jadi anak yang durhaka."

Laras menelan ludah. "Pak Ode, Bapak udah kerja sekian lama. Bapak tau apa aja yang udah terjadi di bawah atap rumah keluarga Sjahrir selama ini. Tolong, Pak. Jangan paksa saya ketemu Papa kalau saya lagi ngga mau."

"Non Laras, semua yang Tuan lakukan selama ini juga untuk keluarganya," ucap Pak Ode. "Untuk Non Laras, untuk Mas Gilang, Mas Brahma. Untuk Nyonya juga."

"Apanya yang untuk Mama, Pak?" balas Laras.

Dia tak pernah bisa menahan emosinya jika ketidak hadiran ayahnya gara-gara pekerjaan selalu dibenarkan dengan alasan 'untuk keluarga'.

"Ketika Mama masuk rumah sakit, emangnya Pak Ode liat ada Papa di sana yang nemenin Mama? Sampai jenazah Mama disemayamkan, baru Papa muncul."

"Saat itu Tuan kan lagi tugas. Non Laras harus maklum. Banyak sekali yang udah Tuan korbankan untuk kebahagiaan keluarganya."

"Oh ya? Kalau begitu saya kasihan sama ayah saya, Pak. Setelah begitu 'banyak' yang dia 'korbankan' untuk keluarganya, tapi keluarganya ini masih juga ngga hidup bahagia?"

Pak Ode tak berani menyahut. Sebetulnya Pak Ode mengerti, mengapa semakin lama semakin sulit bagi Laras untuk menjalin hubungan baik dengan ayahnya.

RIVAL [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang