Perfect38

4.5K 315 15
                                    

Hari itu tiba, hari dimana menurut orang-orang yang melakukannya dengan cinta pasti mereka menyebutnya hari bahagia, namun tidak dengan lelaki satu ini, hatinya gelisah, hatinya resah, dan menurutnya hari ini adalah hari terburuk sepanjang hidupnya.

Langkah kaki dibaluti sepatu khas pengantin lelaki membawa raganya mondar-mandir tak tenang. Ali, dialah orang itu. Tepat hari ini adalah hari dimana kehancuran hatinya tiba dengan Amara menyandang gelar ratu dikeluarganya. Ali masih tidak bisa menerima pernikahan ini namun sang bunda terus saja mendesak, hari ini ia benar-benar tidak berdaya.

Ceklek

"Den, ayo keluar sudah ditunggu dibawah." Ajak seorang art paruh baya memasuki kamar Ali.

"Iya mbok sebentar lagi, mbok duluan aja, nanti Ali nyusul." Balas Ali dengan pandangan tidak lepas dari benda pipih ditangannya.

"Yasudah, tapi segera ya den, soalnya penghulunya sudah datang." Ucap art tersebut memberitahu kemudian keluar menutup pintu kamar Ali pelan.

"Astaga piy... kamu dimana sih? Susah banget dihubunginnya." Pekik Ali tertahan. Pasalnya sadari tadi gadisnya itu sulit sekali dihubungi, padahal waktu ijab kabul semakin dekat.

"Coba gue kirim pesan aja kali ya, siapa tau dia lagi dijalan." Gumam Ali berbicara sendiri. Kemudian tangannya mengetikkan sebuah pesan pada Prilly, berharap gadisnya itu membaca pesan darinya. Setelah pesannya sukses terkirim Ali pun mengantongi ponselnya sebelum akhirnya bergegas keluar.

"Nah itu dia mempelai prianya, ayo sini li." Tante Ratna melambaikan tangan tersenyum kearah putra semata wayangnya.

Ali menganggukan kepala tersenyum membalas bundanya yang terlihat sangat bahagia itu.

Kini ruangan itu sudah disulap sedemikian rupa hingga terlihat mewah khas pernikahan putra konglomerat.

"Ya Allah, kemana kamu piy." Ali membatin sembari mengedarkan pandangannya mencari sosok gadisnya. Berharap dia baik-baik saja.

"Sayang, ayo?" Amara yang tidak sabaran dan jelas tidak tahu malu itu menghampiri Ali lalu menggandeng lengannya mesra dihadapan para tamu undangan. Sontak saja hal itu membuat Ali yang tadinya sedang fokus mencari-cari keberadaan gadisnya terkejut dan sangat malu rasanya, Amara benar-benar tidak tahu etika. Masa mempelai wanita nyamperin yang laki?

"Lo ngapain sih?" Bisik Ali geram menatap Amara tajam.

"Ih, udah mau nikah masih manggil lo gue aja sih." Gerutu Amara pelan.

"Eh calon pengantin ngapain pada berdiri disitu? Ayo sini ijab kabul dulu, kalian nggak sabaran banget sih." Tegur tante Ratna.

"Maklum jeng, pengantin jaman now ya gitu." Sahut tante Desi terkekeh menggoda.

"Ayo sayang, itu udah pada nungguin." Ajak Amara menarik lengan Ali paksa. Dan akhirnya Ali hanya pasrah mengikuti untuk duduk di kursi pengantin yang telah disediakan khusus untuk pengantin.

"Bagaimana mempelai pria sudah siap?" Tanya seorang penghulu menatap Ali setelah keduanya duduk berdampingan. Namun Ali terlihat celingak-celinguk tidak menghiraukan pertanyaan orang di depannya itu sebelum akhirnya Amara menyenggol lengannya pelan.

"Saya tanya sekali lagi, apakah mempelai pria sudah siap?"

"Si...siap pak." Dengan terpaksa Ali menjawab. Ya Tuhan, apa ini akhir dari semua perjuangannya?

"Baiklah, dan untuk mempelai wanitanya bagaimana?" Penghulu itu pun kembali bertanya pada Amara.

"Siap pak siap. Buruan pak dimulai acaranya, dari tadi nanya mulu." Balas Amara tidak sabaran.

Perfect CoupleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang