1

10.9K 519 16
                                    

Hujan, Halte, dan Pertemuan.

Adhara menempatkan diri pada barisan upacara pertama ia menjadi siswa sekolah menengah atas. Dia meluruskan posisinya dengan barisan depan, lalu berdiri dengan tertib. Di bawah sang surya yang memancarkan sinar ultraviolet, semua siswa SMA Semesta berjajar membentuk jajaran barisan yang rapi di tengah lapangan basket dengan sabar. Diperiksanya seragam abu-abu, kaos kaki, sepatu, dan juga beberapa aksesoris yang ia pakai—hanya ada jam tangan dan anting-anting saja. Setelah dirasanya puas, Adhara tersenyum lebar dan bersiap untuk tempur dengan teriknya sinar mentari.

Jam tujuh tepat, bel berbunyi dan menandakan bahwa upacara segera dimulai.

Sebenarnya, ini upacara pembukaan penyambutan siswa baru di SMA swasta di Ibu Kota Jakarta. Jadi, sebagai siswa baru yang baik dan benar Adhara berusaha semaksimal mungkin utuk tidak membuat kesalahan di masa pengenalan lingkungan sekolah. Harusnya dia bersyukur karena entah bagaimana sekolahnya tidak lagi memperbolehkan adanya masa orientasi siswa yang biasanya dijadikan ajang untuk balas dendam dan digantikan oleh masa pengenalan lingkungan sekolah. Ia dan teman-teman seperjuangannya hanya disuruh untuk datang lebih awal tadi, tapi yang terjadi malah kemoloran waktu. Kakak kelas yang bertanggung jawab untuk penyelenggaraan kegiatan ini bahkan dengan santai berjalan memasuki barisan sesamanya yang memakai jas almamater sebuah organisasi di sekolah. Warnanya hitam dan bercorak batik, itu jas pengurus OSIS. Sepertinya mereka sengaja mencari kesempatan dibalik kesempitan.

Bagi Adhara sendiri itu sangat tidak mencerminkan seorang petinggi sekolah. Melihat bagaimana kakak kelas itu berdiri di podium yang sudah tertata rapi di tengah lapangan, lalu memulai prakata dengan sambutan—dan apa tadi? Ia memperkenalkan dirinya sebagai ketua OSIS?

Memalukan!

Adhara mengingat-ingat perkataan Orion pagi tadi.

"Buat apa dateng pagi-pagi. Nih, ya, bisa gue pastiin kalo senior lo nggak bakal dateng setepat itu."

Adhara mendengus. Dia memberi skor sepuluh untuk Orion.

"Buru-buru banget. Paling juga apelnya molor. Mentok-mentok, nih, jam 7 baru mulai. Percaya sama gue."

Harusnya Adhara percaya dengan omongan seseorang yang sudah berpengalaman. Tapi sayangnya, dia sudah kemakan ekpektasi akan hukuman yang harus dia terima jika datang terlambat. Bodoh juga dia tidak berpikir kritis, siapa juga yang mau datang ke sekolah pukul 6 pagi?

"Santai aja kali, Ra. Nih, makan dulu nasi goreng spesial buatan Bunda Arin. Ntar nyesel, loh."

Adhara merutuki Orion. Kenapa omongannya itu selalu benar? Dan, kenapa juga dia bisa menyesal tidak mendengarkan omongan Orion? Bunyi kerucuk dari perut membenarkan satu fakta bahwa dia menyesal mengabaikan perkataan Orion.
Apel semakin lama ketika para petinggi sekolahan itu mulai mengevaluasi siswa baru yang disinyalir datang terlambat.

Salah seorang senior putri berteriak keras dengan toa—sudahlah ia berteriak pakai toa pula—menyuruh kesadaran diri mereka untuk maju menerima konsekuensi keterlambatan. Adhara rasa tadi banyak yang datang terlambat, tapi kenapa sekarang tidak ada yang berani maju untuk mengakui kesalahan? Namun, tak lama seorang cowok berambut cepak, bertubuh tinggi, dan berkulit sawo mentah dengan berani menunjukkan dirinya ke depan barisan, berhadapan dengan senior putri yang galak itu, lalu disusul oleh yang lainnya.

AstrophileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang