15

1.3K 127 2
                                    

Pada malam yang seharusnya menenangkan dan untuk kesendirian yang terasa menyesakkan, seorang gadis bergelung dalam selimut. Memeluk dirinya erat, seolah hanya pelukan itu yang bisa ia dapat.

Alam seolah berkonspirasi untuk menyuruhnya bersedih. Menangisi atas semua yang terjadi. Seperti biasa, Tuhan menghendaki dengan sekali saja ia berkedip.

Semuanya berbeda dan tak lagi sama. Mau menangisi melulu pun percuma, tidak akan mengubah keadaan yang ada. Gadis itu benci mengeluh, tapi ia tidak tahu harus melakukan apa. Ia ingin mengubah dirinya untuk tidak melulu membuang air mata yang sia-sia.

Dia bisa.

Dan, Dia harus bisa.

Adhara menyibakkan selimut. Mengambil MacBook yang tergeletak di atas meja belajarnya. Percuma ia berlarut-larut, tidak akan merubah apapun. Kalau memang kesedihan ini Tuhan gariskan untuknya, mungkin ia harus menerima tanpa menangisinya. Kalau kesedihan ini bisa ia tuangkan dalam sastra, mengapa tidak ia mencobanya?

Di bawah sinar rembulan yang temaram, gadis itu menarik kursi untuk ia letakkan di balkon kamar. Mendudukinya dan menatap sang bulan yang seolah tersenyum untuknya. Bulan sabit itu menemaninya dengan angin malam yang semilir. Membawa ketenangan pada pikiran yang terus memberontak.

Adhara tak mampu lagi untuk menangis, bersama segala kontradiksi yang terjadi, tangannya bergerak seolah dengannya ia tahu harus apa.

---

Laki-laki berperawakan tinggi, tapi tidak terlalu tinggi karena temannya yang kini mengajaknya berbicara lebih tinggi. Dengan rambutnya yang agak panjang kalau untuk ukuran lelaki, remaja tanggung itu mengusap wajahnya. Seolah ada beban yang harus ia hadapi.

"Kalau nggak yakin, mundur aja, Yon," kata remaja yang lebih tinggi darinya dengan kaos putih dan celana jeans-nya.

"Gue yang mulai, gue juga yang mengakhiri." Dengan setelan kaos hitam dan jeans hitam, tak ketinggalan juga sepatunya yang hitam, membawa kharisma tersendiri bagi remaja tanggung tersebut. Nakal tapi tampan kalau kata gadis-gadis yang menggerombol di sana.

"Lo yakin?" tanya laki-laki berkaos putih itu lagi.

Menarik nafas dan dihembuskannya dengan mantap, remaja tanggung berkaos putih tersebut berjalan menuju motornya yang terpakir rapi di tengah jalanan yang sepi. Ia harus menghadapinya apapun yang terjadi. Ini kali pertama ia mengikuti balapan liar. Resikonya besar karena selain ini ilegal, ia juga tidak mengetahui lawannya saat ini. Lingkungan ini adalah baru untuk Orion. Tetapi, biar bagaimanapun ia harus memenangkan balapan ini. Ia harus bisa mendapatkan hadiah itu. Entah apa maksudnya bertekad mendapatkan hadiah yang bisa dibilang besar tersebut, hanya Orion yang tahu.

Orion mulai menaiki motornya. Sekali lagi ia menghembuskan nafas dengan tekad yang menyertainya sebelum ia memakai helm full face-nya yang dipenuhi akan stiker. Sejenak ia manatap temannya yang memakai kaos putih itu. Dia adalah Febry. Seorang teman yang selalu ia cari dalam keadaan sulit. Terkadang ia merasa bersalah padanya karena disaat dia senang dia malah bersama 6 temannya yang ia kenal di sekolah. Tapi ia selalu berusaha untuk selalu ada jika Febry dalam keadaan susah. Febry sudah seperti kakak baginya, seorang teman yang selalu menariknya jika ia sudah mulai terjerumus lebih dalam. Febry lebih tua tiga tahun darinya, sekarang ia sudah duduk di bangku kuliah semester tiga.

Febry hanya mengangguk, mencoba menyalurkan keyakinan pada Orion. Melihat itu, Orion tersenyum. Dan ia kembali fokus pada jalan yang sepi tersebut, hanya lampu jalan sebagai sumber penerangan. Itu pun beberapa ada yang tidak menyala. Begitu gadis berpakaian mini di tengah mengibarkan bendera ke atas, dilakukannya motor hitam itu menembus jalanan.

AstrophileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang