8

2.1K 193 2
                                    


Pagi tadi, Adhara dikejutkan dengan kehadiran Aludra yang sedang berdiri di depan gerbang kediaman eyang nya dengan senyum sumringah bak matahari di film Teletubbies.

Dari mana dia tahu?

Tak perlu bertanya pada siapapun untuk mengetahui jawaban itu, Adhara sudah bisa menebaknya lebih dulu. Berawal dari Orion yang teleponan sama seseorang pagi itu, sampai dia 'bocor' ke Garini tentang dirinya yang sudah tidak lagi suci. Ralat, maksudnya sudah tidak polos dan mau mengenal cowok. Adhara sudah tahu jawabannya. Ini pasti kelakuan Orion, abang nya yang tak tahu diri itu.

Dan sekarang Aludra bela-belain jauh-jauh ke rumah eyangnya hanya untuk menjemput Adhara. Padahal, kalau saja dia tidak peduli Adhara bisa berangkat sendiri dengan ojek online atau jika sedang beruntung maka ia akan berangkat dengan Orion. Namun, sayangnya option pertama lebih meyakinkan. Baru saja dia menyalakan ponsel setelah berhari-hari menelantarkannya dan ingin memesan ojek online, Dean yang saat itu hendak berangkat sekolah kembali masuk dan menemuinya. Dengan santai dia berkata, "kak Ara, ditunggu temennya di depan."

Sebenarnya, jarak dari rumah neneknya -yang ia panggil eyang itu- ke sekolah tidak bisa dikatakan dekat. Kalau tidak mau berangkat telat maka ia harus bangun pagi dan mandi habis Subuh, atau kalau beruntung berangkat jam enam dan tidak terjebak macet maka akan sampai tepat waktu. Tapi, sepertinya opini pertama lebih masuk akal. Emangnya Jakarta kapan nggak macet? Mungkin dimana hari itu tiba akan selalu terngiang di benak ingatan masyarakat metropolitan.

"Hari ini ada apa?" Tanya cowok jangkung yang berjalan di sebelahnya itu.

Seperti biasa, Adhara berangkat dengan Aludra sebagai jemputan. Bukan dia yang minta, tapi Aludra menawarkan diri. Jadi, selagi ada yang gratis, kenapa tidak? Begitu pikirnya selalu.

Sekarang, mereka berjalan menaiki tangga. Menuju koridor sebagian kelas sepuluh yang kebetulan kelasnya di atas. Adhara selalu menyunggingkan senyun canggung bagi siapa saja yang menatap mereka terang-terangan. Tapi, yasudah lah. Biarin mereka nyinyi sesuka hati, mungkin lain kali bisa ia daftarkan sebagai admib Lambe Turah.

"Ada UH Kimia sama debat bahasa. Lo sendiri?"

"Fisika, sih. Sama hafalan bahasa Jerman."

"Mantap! Kesel-kesel dah, tuh!" Entah dari segi mananya yang lucu, Adhara tergelak.

"Iya. Lo udah belajar emang?"

"Nggak."

"Kok nggak?"

"Nggak peduli guenya."

"Bego." Aludra tergelak.

"Yaudah, gue masuk dulu, ya?" Kata Adhara ketika mereka telah sampai di depan kelas 10 MIPA Dua. Kelas kebanggaan yang sepertinya tidak pernah sepi, mungkin.

"Siap!"

Adhara memasuki kelas dengan semangat. Semangat untuk bertemu teman-temannya dan menanti kedatangan jam kosong. Demi apapun sebenarnya dia malas sekali sekolah hari ini. Selain mata pelajaran Kimia, hari ini juga ada debat bahasa Indonesia. Dan dia belum menyiapkan materi sama sekali.

Adhara suka debat, apalagi debat tentang politik. Tetapi, kali ini tidak ketika temanya ditentukan oleh Bu Guru. Apalagi kelompoknya mendapat jatah dengan tema Pengaruh Musik Bagi Remaja.

Apa yang perlu diperdebatkan coba?

Ya, kali nyangkut-nyangkutin agama?

Ini debat bahasa atau dakwah majelis ulama?

Oke, kali ini Adhara tidak peduli dengan ulangan harian Kimia. Dari awal memang begini, otaknya selalu tidak sampai ketika berkutat dengan pelajaran itu. Ditambah masalah yang akhir-akhir ini seolah memenuhi pikirannya, sehingga percuma saja dia belajar Kimia karena kapasitas otaknya sudah penuh.

AstrophileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang