3

3.1K 286 9
                                    

Malam, Malang, dan Aludra.


Ketika sepi hadir dalam ruang, di bawah gelap malam tanpa bintang, sendiri tanpa teman, dan dengan seribu kenangan yang terpatri jelas di ingatan, Adhara duduk pada kesunyian malam di atas gedung yang menjulang.

Pukul satu dini hari dan seorang gadis tanpa terlihat tujuan hidup yang jelas hanya duduk termenung di sofa panjang di sebuah kafe yang masih buka malam itu. Hanya menatap kerlap-kerlip lampu dari gedung-gedung tinggi di Kota Jakarta. Meski waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari, keadaan jalanan masih tetap sama; kendaraan berlalu-lintas melewati dan menembus jalanan malam. Dan di sinilah dia, Adhara menyesap cokelat panas dengan angin malam yang selalu mengisi kekosongan. Meresapi udara malam dengan kadar polusi yang berkurang. Terasa sejuk untuk sebuah pikiran kacau. Di rooftop sebuah hotel berbintang, yang mana memang di jadikan sebuh kafe malam, Adhara menenangkan segala beban pikirannya. Meninggalkan sejenak keadaan hidup yang akan selalu datang sebagai takdir.

Dalam keheningan malam, hanya ada satu pemikiran di dalam benaknya. Niatnya untuk pergi sampai dini hari ini bukan karena tanpa maksud. Sore itu, sepulang sekolah adalah waktu yang tidak pernah ingin dia ukir dalam memorinya. Menuruni angkutan umum dan dengan perasaan yang datar-datar saja—entah bagaimana dia harus mendeskripsikan itu semua, tapi pikirannya kosong—Adhara berjalan dari depan komplek menuju kediamannya, membuka gerbang dan menutupnya kembali, menuju pintu dan terpaku ketika melihat sebuah amplop berwarna cokelat yang tergeletak di depan pintu rumah. Dibuka, dilihat, dan dibacanya. Kemudian sore itu adalah sore yang Adhara harap hanya sebuah mimpi buruk. Tidak ada yang tahu keberadaan amplop itu karena Adhara adalah orang pertama yang menyentuhnya. Tidak untuk Mbak Tina maupun Pak Amar.

Mbak Tina hanya akan datang dipagi hari untuk bersih-bersih, atau terkadang memasak sarapan kalau Bunda tidak sedang di rumah. Sedangkan Pak Amar adalah sama, hanya datang di pagi hari untuk membersihkan halaman depan rumah, memperbaiki sesuatu yang rusak, mencuci mobil, sampai menjadi supir ketika dibutuhkan.

Amplop cokelat yang tidak ingin dia lihat itu ditinggalkan pada tempatnya semula. Dengan perasaan kosong, Adhara berputar arah tanpa sekali pun menginjak lantai dalam rumah itu. Cukup sebatas teras depan dan amplop cokelat yang membuatnya sampai pada kafe hingga dini hari.

Adhara kembali menyesap cokelat panasnya tepat ketika pesan masuk dari kakaknya, Adhara berdiri dan pergi meninggalkan kafe.

Bangor(ion) : Pulang sekarang.

Berdiri di pinggiran jalan bersama dingknnya malam, kendaraan yang tidak banyak melintas di depannya hanya berlalu-lalang dengan individualis. Adhara menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari sebuah kendaraan umum yang dapat mengantarnya untuk pulang—menuju tempat yang sebenarnya sangat malas untuk dia pijak saat ini.

Masih dengan rok putih abu-abu tanpa baju putih yang menjadi seragam, tetapi dengan kaos hitam yang tampak sedikit membentuk lekuk tubuhnya, Adhara berdiri di depan sebuah hotel yang menjadi tempat kafe tadi berada tanpa sedikitpun perasaan takut akan kejahatan yang marak terjadi di jalanan tengah malam.

"Nggak ada taksi lewat apa?" Dia mendengus sabar; berharap masih ada kendaraan umum yang menjadi satu-satunya kemungkinan ada di saat itu.

Setengah jam berlalu sudah Adhara berdiri celingukan dengan identitasnya sebagai anak sekolahan menunggu lewatnya sebuah angkutan umum. Beruntung tidak ada polisi keamanan yang suka berpatroli tengah malam karena bisa saja nasibnya sial dan dia akan dibawa oleh petugas keamanan Satpol-PP—dan dia bersyukur nasib baiknya kali ini.

Saat ingin mendudukkan dirinya di trotoar pinggiran jalan, sebuah mobil berwarna biru dengan tulisan 'TAKSI' di atapnya terlihat melajur dari arah kanannya. Adhara bersyukur masih ada yang melintas dan segera melambaikan tangannya memberi kode sang supir taksi untuk berhenti dan bersedia mengantarkannya pulang.

AstrophileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang