10

1.6K 156 4
                                    

Adhara tidak bisa tidur akhir-akhir ini setelah kejadian pagi itu. Terlalu cepat rasanya ekspektasi yang selama ini ia kubur dalam-dalam menjadi sebuah kenyataan. Tak bisa dipungkiri kalau dia capek juga jika terus menurus berbohong pada perasaan. Sebenarnya, dia juga tidak mau terlalu memikirkannya karena bisa saja itu hanya gurauan semata.

Tapi, tak bisa dipungkiri kalau cowok itu memberi kenyamanan tersendiri di kala sedih mewarnai hari-hari. Memberi hiburan tak langsung tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Adhara tertutup, tapi Aludra selalu tahu. Entah bagaimana cowok itu seolah mengenalnya dalam.

Terlalu banyak mikir, Adhara merasakan tenggorokannya sedikit mengering. Ia berniat mengambil air minum di dapur, namun langkahnya terhenti kala ia mangkap sosok tegap yang terlelap dalam gelap.

"Abang?"

Adhara mengenal sosok itu dengan baik. Ia menghampirinya. Ada angin apa Orion pulang ke rumah?

Orion nakal, tapi dia bertanggung jawab. Cowok itu nakal untuk dirinya sendiri, bukan untuk dibagi. Jarang pulang ke rumah seperti bang Toyib bukan berarti Orion berkeliaran di luar sana lalu menabur benih dimana-mana. Memang sesekali pernah, tapi tidak menjadi rutinitas biasanya. Maksudnya, dia sesekali berkeliaran di sana, tapi tidak sampai menabur benihnya.

Dan, jangan sampe.

"Abang?" Adhara mengguncangkan tubuh Orion yang sekarang sedang menggeram terganggu.

"Bang, heh! Banguuun!" Adhara berbisik tegas. Takut kalau membangunkan yang lainnya makanya ia berkata lirih. Namun, jangan harap Orion bisa bangun hanya sekali-dua kali gangguan.

"Abaaaang!" Adhara mencubit hidung mancung Orion. Dia mengerang dan menggeliat, namun tak kunjung sadar.

"Bang, bangun elaaah!" Adhara menyingkap selimut yang membalut tubuh tinggi Orion, tapi ia masih bisa menariknya kembali ke tempat semula. Hingga Adhara melakukannya berkali-kali baru dia tersadar.

"Apa sih?!" Orion menatap dengan kesal adik perempuannya yang kini memicingkan matanya seolah dia adalah tersangka.

"Banguuun!" Adhara merengek dan menarik-narik lengan Orion yang masih memeluk selir-selirnya dengan iler dimana-mana.

"Ganggu lo ah! Sana tidur!" Orion kembali bergelung dalam selimut hendak terlelap kembali sebelum Adhara mengatakan sesuatu yang membuat ia sadar keseluruhan.

"Juventus main, bang. Jam setengah tiga, kalau lo lupa."

Orion langsung membuka matanya, telrihat kaget atas sesuatu. Ia dengan cepat menyingkap selimut dan duduk tegap di sofa. Lalu tangannya bergerak mencari remot tv. Ia tak memperdulikan Adhara yang menggerutu kesal di sebelahnya. Hanya ini satu-satunya cara agar Orion mau bangun dari lelapnya.

Sebenarnya, maksud Adhara membangunkan Orion bukan karena ada pertandingan bola kesukaan kakak nya itu. Melainkan ia butuh pendapat untuk memikirkan resiko jangka panjang yang berpotensi terjadi atas keputusan yang akan ia buat. Selain karena Orion cowok, pastinya juga karena dia lebih berpengalaman.

"Untung lo bangunin gue." Orion mendesah lega, dia duduk manis di sofa dengan boxer dan kaos oblongnya.

"Iya, baik kan gue?" Adhara harus berbasa-basi supaya Orion tidak terlalu terkejut.

"Iya, dah."

Setelahnya, Orion benar-benar anteng terfokuskan pada televisi yang sedang menampilkan komentator dengan segala komentarnya tentang pertandingan kala itu.

"Tik, kok lo belum tidur?" Orion menyadari kalau ini masih pukul dini hari. Dan adiknya itu masih melek tak ada tanda-tanda ingin bergelut dengan mimpi.

AstrophileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang