30

715 68 0
                                    

Happy reading and enjoy it!




*****



"Buat berita mengkritik negara, dibilang hoax. Apalagi kalau melakukan gerakan demo, pasti terakhir dibilang makar."

Yang mendengar hanya bisa mengangguk dan merespon semampunya, ketimbang berpendapat dia lebih banyak bertanya. Mobil SUV dengan tipe Trailblazer 2.5L LT itu nampak tenang berada di antara kemacetan jalanan ibu kota. Perempuan dewasa yang duduk di balik bangku kemudi bersama putri semata wayangnya tengah asik berbincang mulai dari dinamika perpolitikan Indonesia hingga bagaimana grafik kasus pelecehan terhadap anak menaik drastis tahun ini.

Garini bersama Adhara sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit guna mengambil hasil laporan tes laboratorium yang dijadwalkan keluar hari ini. Harusnya tadi siang, tapi Garini mengubah jadwalnya menjadi malam ini karena dia kasihan jika Adhara harus meninggalkan kegiatan belajarnya lagi. Sudah mau ulangan semesteran, katanya.

Satu hal yang Adhara tahu dari sosok wanita yang bekerja di perusahaan percetakan ternama dan menjabat sebagai kepala editor itu adalah wawasannya yang membuat Adhara berdecak kagum. Bunda nya ini bukan sekedar wanita karir yang merangkap menjadi ibu rumah tangga, melainkan juga seorang wanita yang aktif memperjuangkan hak-hak kemanusiaan.

Adhara tahu bunda nya acap kali menjadi pengisi seminar di berbagai acara untuk menyuarakan pikirannya persoalan perempuan. Feminisme, begitu orang menyebutnya. Menolak patriarkis dan mendukung kesetaraan gender.

Lihat sekarang, Garini mengomel sendiri hanya karena berita yang sedang banyak dibicarakan oleh seluruh media seputar politik Indonesia yang tak pernah ada titik terangnya. Adhara tentu saja hanya menjadi audience yang setia.

Sepanjang perjalanan diisi oleh asupan wawasan—yang Adhara harapkan keluar di soal ujian pendidikan kewarganegaraan nanti—hingga tak terasa mobil hitam itu telah memasuki basement rumah sakit.

Mereka berjalan beriringan menuju suatu ruangan yang telah menjadi perjanjian antara bunda nya dan dokter Broto, dokter spesialis yang menanganinya kemarin. Memasuki ruangan, Adhara hanya bisa mendengarkan dengan saksama apa yang dokter paparkan kepada mereka.

Sampai pukul setengah delapan malam, akhirnya pembicaraan dokter tentang kondisinya pun selesai. Meninggalkan Garini yang tersenyum dan menghela nafasnya lega, setidaknya tidak seburuk seperti yang dibayangkan sebelumnya. Adhara pun sama, yang bisa mereka lakukan hanyalah mengucap syukur kepada sang pencipta.

Ibu dan anak itu berjalan dengan tangan sang ibu merangkul pundak anaknya yang sekarang bergelayut manja sambil memeluk pinggang si wanita dewasa. Mereka senang—tentu saja—mendengar kabar baik yang memang seharusnya mereka dengar dari jauh-jauh hari.

"Udah Rara bilang, kan, Bun. Rara pasti baik-baik aja," katanya dengan mulut yang tak henti-hentinya melebarkan senyum secerah matahari siang dengan sinar ultravioletnya.

"Iya-iya. Bunda percaya, anak bunda kuat!" Garini mengecup pucuk kepala anaknya dengan sayang.

Pelukan tangan Adhara meluruh begitu saja hingga terlepas dari posisi semula. Matanya menatap jauh ke depan, tepat pada dua insan manusia yang berdiri di depan sebuah ruangan dengan memeluk satu sama lain. Tidak ada yang ia ketahui selain punggung seorang perempuan yang tengah dipeluk oleh sosok laki-laki yang amat dikenalnya, mukanya menunduk hingga Adhara pantas menyebutnya bahwa laki-laki itu tengah mencium pundak si perempuan. Pelukan yang teramat erat meninggalkan kepedihan yang teramat sangat.

"Adhara?"

Garini menatap anaknya yang bergeming, entah mengapa putrinya itu tiba-tiba melepas pelukannya dan berhenti berjalan dengan pandangan lurus ke depan. Ia pun ikut menatap apa yang membuat anaknya sampai sebegitunya, dan yang ia lihat hanya punggung laki-laki dan perempuan yang berjalan menjauh.

AstrophileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang