20

1.1K 111 0
                                    

Adhara menatap jendela kamar yang langsung menunjukkan pemandangan malam kota metropolitan ini. Gemerlap gedung mengisyaratkan bahwa setiap individu masih berkutat dengan kesibukannya. Adhara mendengus. Adhara capek harus berbaring terus di kasur single ini.

"Bun, Adhara kapan boleh pulang?" Adhara berganti menatap bundanya yang duduk di sofa dengan laptop di meja. Bekerja, selalu.

Adhara mengerti kalau bundanya ini wanita karier, tapi ia tak pernah bisa mengerti apakah wanita karier ingin menjadi ibu seutuhnya? Yang mana selalu berada di rumah, 24/7 mengurus anak dan keperluan rumah tangga?

Garini menghentikan aktivitasnya. Ia melepaskan kacamata bacanya dan menutup MacBook-nya. Garini berjalan mendekat ke anak gadisnya ini.

"Nggak akan lama kok, Nak. Kalau besok dokter visit, kemungkinan kamu besok bisa pulang," kata Garini setelah menempatkan dirinya untuk duduk samping Adhara tidur.

Adhara mendengus. "Padahal Adhara nggak papa, istirahat di rumah aja bisa sembuh kok ini segala disuruh rawat inap. Rumah sakit tuh nahan doang, Bun, biar kita bayar."

Garini terkekeh. Ia menyentil jidat Adhara pelan. "Kamu ini, pikirannya suka ngawur. Dokter pasti tahu yang terbaik buat pasiennya. Kamu dirawat ya karena dokter mau kamu sembuh. Ngerti?"

Adhara mengerucutkan bibirnya. "Iya, Rara ngerti."

"Ya udah. Kamu tidur ya? Udah malem, loh. Kamu harus istirahat." Garini mengusap rambut anaknya dengan lembut. Seolah berusaha untuk menidurkan anak kecil.

"Adhara belum ngantuk, Bunda." Adhara merapatkan dirinya dengan Garini. Kinu, ia seperti anak kucing yang pengen dimanja sama pemiliknya.

"Tapi, udah malem ini. Udah jam 10 lewat. Harusnya obat kamu bisa bikin kamu tidur, ya."

"Ya Allah, Bunda. Kayak nggak tau Adhara aja, jam 10 mah masih sore."

Garini terkekeh lalu mencubit hidung mancung anaknya ini. Garini menyadari ia tidak sepenuhnya setiap waktu melihat perkembangan Adhara. Gadis kecilnya sudah tumbuh menjadi gadis dewasa. Cantik. Adhara adalah cetakan asli dari Navis, ayahnya. Hidung mancung, alisnya yang tebal dan matanya yang belo'. Tipe-tipe oriental, mirip orang Timur Tengah. Tapi, sebenarnya mereka tidak ada keturunan langsung dari sana. Mungkin ini 7 turunan terakhir yang tersisa.

"Oh, iya, Bunda. Abang mana?"

"Abang? Abang lagi beli makan. Katanya laper."

"Kalau ayah?"

Garini terdiam.

"Ayah nggak ngabarin kamu emang?"

Adhara menghembuskan nafasnya dalam. "Adhara nggak chatting-an sama ayah akhir-akhir ini. Ayah sibuk keliatannya, Bun."

Garini mendesahkan nafasnya. Ia bisa melihat tatapan sedih dari anaknya ini. Garini tahu kalau Adhara lebih dekat dengan Navis ketimbang anaknya yang lain.

"Iya. Ayah sibuk. Dia sekarang lagi di Bangkok bareng company-nya."

"Dari kapan, Bun?"

"3 hari yang lalu. Dan kayaknya besok pulang."

Adhara mengangguk.

"Rara pasti kangen ayah Navis, ya?" Garini bertanya.

Adhara menggeleng.

"Tumben? Rara kan anak kesayangan ayah. Kok nggak kangen sama ayah?"

"Rara lebih kangen kita kumpul bareng, Bun. Ada ayah, bunda, abang, adek. Ketawa bareng, main bareng, ngedebatin sesuatu yang nggak penting. Adhara lebih kangen itu ketimbang ayah Navis."

AstrophileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang