13

1.7K 158 9
                                    

Hari itu berlalu sangat cepat. Secepat-cepatnya seseorang menghabiskan nyawa di permainan Candy Crush. Waktu tak lagi terasa lama selama masa sekolahnya di isi dengan warna-warni kebahagiaan.

Entah kenapa kehadiran Aludra membawa semangat tersendiri untuknya. Adhara menjadi lebih rajin untuk berangkat sekolah, tidak ada kata malas untuk pergi menuntut ilmu. Itu sekarang, nggak tahu kalau nanti.

Berbicara hubungannya dengan Aludra, dia selalu merasa baru saja kemaren di tembak sama Aludra dengan caranya yang nggak pernah ia bayangkan; di depan toilet umum di museum Fatahillah. Sungguh momen indah nan mengenaskan. Padahal hubungannya sudah menginjak bulan ke dua. Lebih lama dari perkiraannya.

Sudah banyak yang tahu juga kalau Adhara dan Aludra pacaran. Awalnya, Gatari dan Aprodhita tidak bisa terima karena Adhara terlalu mendadak memberitahukan kepada mereka. Tapi, mereka mengerti karena Adhara memang bukan sosok yang terbuka. Harusnya mereka beruntung karena biar bagaimanapun Adhara sudah nyaman dalam lingkaran pertemanan mereka.

Aprodhita dan Gatari tahu bagaimana menempatkan posisi mereka. Mereka tahu kapan waktunya bercanda dan kapan ketika harus serius. Mereka juga tahu kapan waktunya menghina dan kapan waktunya memuji. Mereka juga tahu kapan waktunya untuk nyambung pembicaraan yang selalu Adhara suka, politik dan sosial. Heran juga, padahal cita-cita Adhara adalah masuk kedokteran UGM. Tapi, selama ini hanya sosial dan politik yang selalu digubrisnya. Apalagi tentang astronomi, sudah jangan ditanya lagi.

Mereka benar-benar bisa menyesuaikan diri dengannya, dan Adhara nyaman akan hal itu. Sedikit demi sedikit, mereka bisa mengikis kepercayaan Adhara yang sungguh tak ada benarnya; sahabat sejati. Di sini mereka akan membuktikan, meskipun bukan dalam kurun waktu yang singkat. Dan tantangan mereka adalah satu, Adhara yang penutup.

"Nggak kerasa bentar lagi kita mau jadi kakak kelas aja, nih," kata Aprodhita sambil terkekeh geli membayangkan hal itu, dimana ia akan dipanggil 'Kak' atau 'Mbak'. Sebenarnya itu hanya asumsinya semata karena pada dasar dia tidak pernah merasakan menjadi seorang kakak. Maklumi saja karena dia memang anak tunggal di keluarganya. Lalu, kemana saja dia selama bersekolah ini? Apa ia hanya merasakan menjadi murid kelas satu? Entah SD, SMP, maupun SMA? Adhara merasa temannya yang satu ini sangat lebay. Tapi, Gatari malah merasa kalau Aprodhita memang lebay.

"Woy, sadar! Baru kemaren juga selesai ulangan tengah semester."

Benar, mereka memang dua minggu kemarin di sibukkan dengan belajar untuk ulangan tengah semester ganjil ini. Dan, sekarang berangkat hanya untuk mengetahui nilai ulangan ada yang remedi atau tidak. Atau mungkin mengumpulkan tugas yang belum untuk melengkapi nilai rapot. Padahal, ekspektasi mereka adalah santai-santai kayak di pantai setelah penat dengan soal-soal ulangan yang melesetnya jauh dari kisi-kisi.

"Lo kayak nggak pernah di panggil kakak aja." Gatari berdecak lalu menyeruput es tehnya dari sedotan merah itu.

"Pernah, lah. Gila aja, lo pikir gue selama ini playgroup aja gitu?" jawab Aprodhita sedikit retorik.

"Yaudah. Nggak usah lebay gitu, ah." Gatari terkekeh dengan reaksi ketidakterimaan itu.

"Nggak gitu, ogeb. Maksud gue nggak kerasa aja gitu. Padahal baru kemaren rasanya gue lulus dengan nem terbaik di SD tercinta, eh tau-tau udah SMA aja," papar Aprodhita maratapi waktu yang berjalan terlalu cepat.

Adhara menyadari itu. Ia juga sering merasakan hal yang sama dengan apa yang sekarang temannya itu rasakan, hanya saja ia biasa menerimanya dan berpikir lebih logis kalau memang hidup ini terus berjalan.

"Life it's about moving. Kalau lo stuck aja, lo nggak bakal bisa masuk sini terus ketemu abang gue, Dhit," kata Adhara lalu terkekeh.

AstrophileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang