4

3K 260 13
                                    

Tugas seorang pelajar adalah belajar dan tugas seorang pelajar seperti Adhara adalah belajar hanya ketika ada tugas rumah. Sekarang, di dalam kamarnya menggema sebuah musik pop yang sedang digandrungi kebanyakan remaja.

Bersama setumpuk buku dan sepaket alat tulis lengkap yang berserakan di atas meja, Adhara duduk di bangku belajarnya. Berkutik dengan buku, bolpoin, dan handphone tentu saja.

Rasanya baru saja kemarin ia resmi menjadi murid kelas sepuluh, Adhara dan teman-temannya sudah biasa disodorkan setumpuk tugas rumah yang harus diselesaikan tepat waktu. Masa SMA bukanlah masa di mana saatnya ia bersantai-santai. Mulai sekarang, Adhara dan teman-temannya harus menentukan target agar bisa masuk ke Perguruan Tinggi yang di inginkan.

Memang tidak menyenangkan kalau masa-masa SMA hanya diisi belajar, belajar, dan belajar. Baginya, tidak asik kalau masa putih abu-abu itu hanya lurus-lurus saja. Dan dari sini Adhara mendapatkan satu pedoman dalam hidupnya: Nakal boleh, bego jangan. Intinya tidak masalah kalau ia nakal bahkan sampai mendapat catatan khusus, asal prestasi tetap nomor satu. Bagaimana mau berprestasi, ya?

Kalau ditanya kenapa, akan selalu terlontar jawaban yang sama: "Nakal nggak papa lah, nambah wawasan juga ini."

Kalau ditanya kenapa begitu, akan selalu terlontar jawaban yang sama: "Pinter buat apa kalau wawasannya cetek."

Nambah wawasan dimananya?

Mungkin maksud Adhara adalah wawasan dalam pergaulan. Dia menggauli siapa saja dari kalangan mana saja, kalau dia nyaman, ya sudah jalani saja. Pengalaman bergaul dengan banyak orang membuat pikirannya lebih terbuka, menjadi lebih memahami mereka yang sering orang-orang hindari karena etika yang kurang, membuat dirinya sadar kalau kau tidak bisa melihat suatu tindakan hanya dari satu sudut pandang, menjadikan dirinya tidak gampang tersinggung dan menolerir apa saja itu. Karena menurut Adhara, segala sesuatu yang terjadi di dunia nyata tidak bisa disalahkan dan dibenarkan. Semua orang memiliki alasan masing-masing yang belum tentu kau bisa pahami. Hidup itu jangan terpacu oleh satu hal yang sudah kau anggap benar, belum tentu bisa menjamin kehidupan masa depan 'kan?

Otaknya berpikir, tangannya menulis, dan mulutnya bersenandung. Adhara mulai menjawab satu persatu soal matematika yang bukan menjadi persoalan baginya. Jangan lupakan otak Adhara yang encer.

Entah terlalu fokus pada soal atau suara musik yang terlalu keras, Adhara sampai tidak menyadari kalau adiknya yang biasa dipanggil Dean, sudah berdiri di sebelahnya.

"Kak Ara!" keras Dean dengan kesal tepat di telinga kanan Adhara.

"Anj-" umpatannya menggantung begitu saja ketika ia melihat wajah berang adiknya yang tampan itu.

Mendengus, Adhara menatap kesal pada anak kecil di sebelahnya. "Apaan sih, Dek, ngagetin aja. Manggil pelan kan bisa," kata Adhara dengan kesal.

"Manggil pelan kan bisa," kata Dean menirukan Adhara, "Dean udah manggil Kakak dari tadi, udah patuhin tulisan gede yang nyantel di pintu Kakak juga tuh. Tapi Kakak masih aja nggak denger," lanjut Dean membeo dengan tatapan yang seolah sedang ingin membunuh kakaknya itu tapi sayang tidak mempan. Dean ini entah mengapa sekarang jadi cerewet, padahal dia adalah anak yang paling anteng diantara mereka bertiga.

Perlu diketahui, Adhara memasang sebuah tempelan kertas yang diketik dengan ukuran font besar dan di pertebal dengan bertuliskan: KETUK, SALAM, dan IZIN sebelum masuk adalah WAJIB!!!

AstrophileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang