23

911 87 6
                                    

"Nanti, kamu sama Adhara pulang lebih awal. Ada orang yang akan mengurus perijinan kalian."

Orion menghentikan kegiatan makannya. Ia menatap lelaki dewasa yang duduk di ujung meja, tepatnya di sebelahnya. Adhara hanya mampu menghela nafasnya panjang. Ia sudah bisa lebih tenang sekarang.

Menatap Orion yang masih mengerutkan dahinya dalam, ia hanya bisa memberi tatapan datar dan menyesakkan. "Ini sudah menjadi keputusan kami berdua. Ayah harap kalian bisa lebih bijak untuk ini."

"Radian?"

"Hak asuh Radian sebisa mungkin jatuh ke tangan bunda kalian. Dan-" Navis menggantungkan kalimatnya. Ia menatap dalam seakan memang ada yang harus ia sampaikan.

"Orion. Jaga Bunda."

Untuk beberapa detik kemudian Adhara hanya mampu mengerjapkan mata. Tidak ada yang lebih membuatnya terbelalak kaget selain kalimat kedua yang baru saja terlontar dari mulut Ayah.

"Maksud Ayah, kita pisah?!" Adhara sudah berdiri, menggebrak meja dan menatap Navis dengan sengit.

"Adhara." Panggilan itu tegas namun sarat akan peringatan. Membuat Orion ikut menegakkan tubuhnya.

"Ra. Ayo berangkat," Orion berkata dengan sangat tenang. Seolah dia tahu bahwa semua ini memang sudah seharusnya terjadi. Bukankah benar kata orang-orang, bahwa disetiap pertemuan pasti akan ada perpisahan? Namun, bukan perpisahan seperti ini yang ia harapkan.

"Bang?! Lo harusnya marah, bukan kaya gini!"

Navis menghela nafasnya panjang. Ia bangun dan menatap Adhara dengan penuh kasih, namun sayang Adhara terlanjur benci dengan keaadan saat ini.

"Adhara. Tidak ada yang lebih baik dari perpisahan, ketika kedua insan yang serumah namun terasa asing. Ketika dua insan yang pernah bersama karena kemauan berubah menjadi karena keterpaksaan. Menyakitkan bukan kalau terus dilanjutkan? Karena pada dasarnya bukan hanya kami berdua yang terlibat."

Adhara meneteskan air matanya. Membenarkan segala ucapan Navis yang memang benar adanya. Ia menunduk mencoba menyembunyikan tetas demi tetes air mata yang tak pernah ia izinkan untuk keluar. Dunia begitu kejam. Memberinya cobaan yang tak kunjung padam. Adhara tahu kalau Tuhan tidak akan memberi cobaan melebihi batas kemampuan umatnya, tapi haruskah begini jalan ceritanya?

Navis memeluk Adhara sebentar sebelum melepaskannya dan beranjak untuk keluar rumah. Membawa tas kantornya dan jas yang ditentengnya setelah menepuk pundak Orion. Kenyaatan menyesakkan sebentar lagi akan tiba, dan mereka harus menerima itu semua.

"Ra." Panggilan itu terasa mengalun di telinganya. Meruntuhkan segala dinding pertahanan yang ia coba bangun sedari tadi, meruntuhkan segala isak yang ia coba tahan untuk tidak tumpah sekali lagi.

"Harusnya lo marah! Bukannya malah diem begini!" Adhara memukul dada bidang yang mencoba untuk memeluknya itu. Ia marah. Ia marah pada dirinya yang begitu sulit untuk menarik kembali seluruh cinta yang pernah ada.

"Ra, we realise that we can't control someone's loyalty. Even our parents. Nggak peduli seberapa baik kita, bukan berarti itu akan membuat mereka memperlakukan hal yang sama ke kita. No matter how much they mean to you, doesn't mean they'll value you the same. Terkadang, seseorang yang sangat kita sayangi, bisa berubah menjadi seseorang yang kita percayai terakhir kali."

Adhara memeluk sosok tinggi yang kini mengecup puncak kepalanya lama. Memang tingginya tidak lebih dari Aludra, namun segini saja cukup buat Adhara untuk merasakan rasa aman. Adhara telah kehilangan kata-katanya. Tidak ada yang lebih menyedihkan daripada perpisahannya dengan Orion, bahkan ketika ia tahu bahwa kedua orang tua mereka tak lagi dapat tinggal bersama. Toh, sudah biasa. Hidup di rumah besar, namun terasa kosong.

AstrophileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang