9

1.8K 169 5
                                    

Hanya ada suara papan tik, detik jam, penyejuk ruangan, dan kunyahan keripik singkong renyah yang Adhara suka. Tak ketinggalan pula suara dengusan nafas yang menandakan kehidupan sedang berlangsung di dalam ruangan itu.

Adhara duduk di kursi belajarnya. Dini hari, dia masih saja berkutat dengan laptop berlogo apel separuh berwarna putih tulang yang menyala. Memperlihatkan ketikan-ketikan yang menemaninya di kala sedih melanda.

Kebiasaannya selalu sama. Mencurahkan apa saja pada sastra. Emosi dan seluruh gejolak jiwa. Mau sholat malam tapi dia belum tidur, mana bisa. Daripada diluapkan menimbulkan masalah, lebik baik dia ungkapkan saja. Siapa tahu menghasilkan karya yang menguntungkan.

Hari itu kala dia sedang membuka-buka ponsel bunda nya adalah awal dari jawaban ketidaktahuannya selama ini. Niat awalnya untuk mencuri hotspot dari hp bunda nya karena Wi-Fi rumahnya sedang bermasalah dan dia juga belum beli kuota. Namun, ketika notifikasi salah satu aplikasi pesan online memenuhi bar notifikasi, tangan Adhara gatal untuk membuka. Sedikit kepo dengan kehidupan Garini selama ini.

Ia menggeser layar ke bawah, membaca satu persatu nama yang ada di obrolan Arin. Ada beberapa teman bunda nya itu yang Adhara tahu. Tapi, herannya kenapa tidak ada obrolan dengan Navis, ayah nya?

Kemudian tangannya gatal untuk mencari ruang obrolan pribadi Arin dengan Navis. Ternyata, pesan itu di arsipkan oleh Arin. Entah apa tujuannya, apakah sebegitu pentingnya sampai sengaja di arsipkan? Sebegitu pentingnya sampai orang-orang tidak boleh tahu?

"4 September, 2017? 2 hari yang lalu?"

Adhara membuka ruang obrolan pribadi tersebut. Sebenarnya, ia cukup mengerti dengan isi pesan yang terakhir Navis kirimkan kepada Arin.

Baik. Akan segera saya urus.

Dia memejamkan matanya sejenak. Merasakan pisau yang menggores hati dan perasaanya dalam. Terlalu sakit meskipun tak berdarah.

Dia mulai menggeser ke atas. Membaca satu persatu pesan yang isinya cukup panjang. Dan tentunya berat untuk Adhara terima.

Satu fakta yang Adhara tahu. Kalau kini memang keluarganya tidak bisa ia selamatkan lagi.

"Sakit." Adhara memukul dada sebelah kirinya lumayan keras. Berharap ia bisa menyembuhkan rasa sakit itu. Rasa sakit yang terlalu sulit dijelaskan dengan rangkaian kata.

Patah hati dan kecewa. Gambaran luas dari kondisinya sekarang. Dalam dan menusuk. Mampu memberikan bekas yang tak akan bisa siapapun sembuhkan, atau bahkan untuk sekadar menutupnya.

Lalu, sambil menutup kembali obrolan dan aplikasi itu, setetes air bening mengalir turun dari matanya. Kala itu, ia menangis namun tak terisak.

Tiba-tiba Adhara terkekeh. Ia mengembalikan ponsel Arin pada tempatnya semula. "Harusnya gue tau dari dulu. Bego banget, haha."

Ingatannya selalu memutar akan kejadian itu. Dan di sini, di dalam rangkaian kata yang membentuk frasa dalam klausa, yang tersusun rapi menjadi kalimat dalam sebuah paragraf demi paragraf, Adhara menumpahkan segala gejolak emosinya.

Ia kembali terkekeh miris. "Kenapa gue naif banget."

Adhara mengambil cangkir bekas susunya. Dilihatnya kalau cangkir itu sudah kosong dan sekarang dia berniat turun ke dapur untuk kembali mengisi gelas tersebut dengan susu.

Adhara berjalan keluar kamar dan keadaan rumah sepi karena penghuninya sudah terlelap dalam alam bawah sadar masing-masing. Juga gelap. Hanya ada penerangan yang redup dari beberapa lampu yang sengaja dibiarkan menyala.

Melewati kamar Orion, Adhara berhenti. Sejenak dia berhenti untuk menatap pintu itu, tatapannya tak bisa diartikan. Ada perasaan rindu juga ada perasaan kesal. Ada perasaan sedih namun lebih dominan pada kekesalan.

AstrophileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang