22

1K 87 4
                                    

Mendengar lantunan lagu Rahim Ibu dari luar kamarnya, mampu menarik Adhara untuk berdiri dan beranjak keluar. Meninggalkan segala tetek-bengek yang sedari tadi ia kerjakan. Jam dinding yang tertempel di atas televisi berukuran 40 inci menunjukkan pukul setengah 10 malam, yang artinya sebuah siaran televisi swasta yang berjudul Mata Najwa telah selesai.

"Yah, kok bisa sampe lupa sih." Melihat credit scene terpampang di televisi, Adhara mendengus.

"Salah sendiri belajar terus." Navis duduk dengan santai di sofa depan televisi. Sembari memangku laptop hitamnya yang masih menyala.

Siaran Mata Najwa hampir tak pernah terlewatkan oleh Adhara. Seorang anak seusianya yang harusnya tidak begitu tertarik dengan hal-hal berat dan banyak mengandung unsur politik menjadi pengecualian bagi Adhara. Katanya, salahkan saja perpustakaan rumahnya yang isinya buku-buku idealis. Namun, jangan salahkan siapapun sebelum kamu melihat kesalahan pada diri kamu sendiri. Salahnya lebih tertarik pada hal seperti itu, padahal di sana masih banyak jejeran buku novel yang berdiri bersender satu sama lain dan hampir berdebu. Saking tidak adanya yang pernah ingin menyentuh.

"Oh, iya. Ayah besok harus ke pengadilan." Baru saja dunia menyuruhnya untuk tertawa bahagia, sekarang ia kembali menjatuhkannya dengan rentetan masalah yang tak pernah usai. Kakinya lemas, tak lagi mampu menopang seluruh beban hidupnya ini.

"Ayah sama Bunda sudah sepakat soal ini. Dan besok kamu sama Orion harus datang."

Petir seolah menyambar dengan kilatnya. Meninggalkan bekas kesakitan yang teramat sangat. Menumbangkan segala sesuatu yang telah berdiri lama. Pohon itu tumbang dengan perlahan, merengek minta pertolongan. Namun, hujan seolah mencegah setiap orang untuk tetap diam di tempat. Tidak ada satupun orang yang ingin menolong, dan pada akhirnya pohon itu tumbang. Terlepas bersama akar yang selama ini menjadi penopang hingga hanya ada bekas-bekas . Pohon itu.. apakah punya harapan untuk tetap hidup?

Navis masih duduk setia dengan laptop yang menyala dipangkuannya. Kembali bergelut dengan kesibukan pekerjaan yang menyesakkan. Seolah tidak terjadi apapun di sana, seolah tak ada seseorang yang merengek minta pertolongan di belakangnya. Adhara tak bisa berkata, yang ada dipikirannya hanya kembali masuk ke kamar, mengambil jaket dari gantungan, memakainya, dan mengambil kuncu motornya, kemudian keluar rumah tanpa tahu arah dan tujuan. Ia tak tahu harus kemana.

Komplek demi komplek telah ia lewati, langkah kakinya seolah tak ingin berhenti hingga pada akhirnya keramaian jalan raya ia jumpai. Sesak, penuh, dan berisik. Keramaian yang memuakkan. Ia menapaki trotoar sepanjang jalan masih belum tahu kemana ia harus berhenti. Matanya menatap sepatu Converse hitam putih yang telah lapuk, yang bagian belakangnya ia injak begitu saja.

Hari ini, Rabu malam yang menyedihkan. Mengapa dunia seolah tak mengizinkannya untuk bernafas lega, barang sedetik pun?

****


"Assalamualaikum." Terdengar gemboran salam dari luar gerbang, Orion keluar dari kamarnya yang berada di balkon atas sebelah kanan. Melihat seorang lelaki berjaket denim masih setia meneriakkan salam. Ia melirik jam dinding di dalam kamarnya yang menunjukkan jam setengah sebelas malam, kemudian bertanya: "Adhara mau kemana anjir jam segini pacaran?"

Dengan inisiatif, Orion keluar kamar dan mengetok pintu kamar di sebelahnya. Hingga detik berikutnya idak ada sahutan, Orion membukanya. Perlahan, dan yang terlihat hanya kamar beserta isinya tanpa pemiliknya. Kosong.

"Lah, kemana nih bocah?" Orion bertanya pada udara dingin hasil dari kerja air conditioner yang masih menyala dengan suhu tertera, 16°.

Orion turun ke bawah, berusaha mencari siapapun yang ada di rumah. Maafkan Orion yang tertidur sejak petang tadi dan salahkan saja pada dunia mengapa membuatnya lelah hanya untuk tahu keadaan rumah seperti apa, apakah baik-baik saja atau malah ada apa-apa?

AstrophileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang