35

680 72 8
                                    

Melewati perjalanan yang panjang mampu membuat seluruh tulang-tulang di punggungnya terasa mati. Berjam-jam lamanya hanya duduk di kursi mobil, setidaknya kenyamanan yang ditawarkan mesin rakitan dengan harga yang selalu membuat Adhara menggeleng itu mampu mengurangi sedikit banyak, tetapi tetap saja. Navis—tentunya—tidak akan pernah membeli sesuatu yang tidak mampu memberikan benefit yang berarti dalam kehidupannya, sekalipun itu perlu untuk merogoh kocek yang dalam, dia tidak akan segan untuk itu.

Adhara bangun dari tidurnya dengan keadaan yang lebih baik, rasa lelah akibat perjalanan kemarin telah meninggalkannya, membawanya untuk menghirup zat oksigen pagi yang segar dari pohon-pohon yang daunnya melambai terkena terpaan angin dari luar jendela. Jenis tanaman hias yang hampir sejenis dengan daun pisang menyambutnya dari sana. Adhara menarik nafasnya panjang kala ingatan kemarin kembali memenuhi pikirannya. Tekad bulatnya untuk menuntun kejelasan harus terealisasikan hari ini. Dia menatap Orion yang berada di kasur bawah, cowok dengan kumis tipis yang mulai tumbuh di bawah hidungnya itu tampak jelas tengah mengembara di alam bawah sadarnya, dan Adhara memilih untuk keluar kamar, menemui orang-orang rumah yang mungkin masih berkutik dengan dapur untuk menyiapkan sarapan.

Garini dengan daster batiknya yang nyaman sedang duduk di meja makan, memotong buncis dan wortel segar, sedangkan adik Eyang memotong bawang bumbu-bumbu yang perlu disiapkan. Adhara menyapa dan mendudukkan dirinya di kursi sebelah bunda nya dan mulai membuka obrolan.

"Eyang di mana, Bun?"

"Di kebun belakang."

Dia mengangguk paham dan menawarkan bantuannya untuk pekerjaan yang mungkin saja mereka membutuhkannya. Adik Eyang, yang dia panggil dengan Wak itu menyuruhnya untuk membangunkan para saudara-saudaranya, tentu saja tidak semudah yang terbayangkan. Dia harus melewati drama yang panjang untuk membangunkan mereka pada Sabtu pagi yang memang tepat untuk waktunya berkelena di alam bawah sadar, hingga usahanya berhasil membuahkan hasil.

Mereka bangun, keluar kamar, namun tidak untuk bangun dan berdiri dan melakukan aktivitas apapun selain kembali menidurkan diri kembali di ruang keluarga. Hanya Naya yang memilih untuk membantunya berkebun bersama Eyang, sedangkan saudara laki-lakinya; Raka, Orion, dan Radian kembali terkapar di atas karpet empuk yang tergelar di sana. Yang tua hanya menggeleng dan hal itu sudah biasa.

Sampai mereka selesai dengan aktivitasnya masing-masing dan berkumpul di meja makan dengan kursi sepuluh orang; dua di ujung meja dan empat di kanan dan kiri sisi meja. Ada dua kepala keluarga di sana, satu suami Wak dan Navis yang memutuskan untuk mengantar keluarga kecilnya kembali ke Surakarta sepulang takziah kemarin—itu harus, karena Navis sadar bahwa setelah ini akan ada penuntutan kejelasan kepada siapapun yang terlibat, kejelasan yang harusnya mereka jelaskan kepada Adhara sejak lama.

Sarapan pagi itu telah selesai dan mereka memilih untuk kembali bermalas-malasan di ruang keluarga. Ternyata liburan ini sama saja, mereka tetap bermalas-malasan hanya saja di tempat yang berbeda. Adhara tidak menikmati sedikit pun tontonan yang menampilkan adegan action fiksi yang sengaja mereka putar di layar televisi besar itu, Captain America: Civil War tampak tidak menarik sama sekali bagi salah satu penggemar Marvel Cinematic Universal tersebut. Pikirannya berkelana jauh mencoba mencari titik terang yang mungkin saja dia bisa temukan. Mengingat rentetan peristiwa selama hidupnya, Adhara berusaha menemukan momentum di dalamnya yang berkaitan dengan ini semua, dan dia menemukan satu yang perlu disiapkan untuk aksi menuntut kejelasannya, tinggal menunggu waktu yang tepat saja.

Adhara beranjak dari sana dan mengambil ponselnya yang dia lupakan sejak kemarin di kamar. Rentetan notifikasi mulai terpampang di layar kunci tepat ketika dia menyalakan mobile data-nya. Beberapa dari sosial medianya dan beberapa lagi pesan dari teman-temannya, Adhara membalas beberapa dari grup chat-nya bersama Gatari dan Aprodhita yang terus mengoceh pasal liburan mereka yang hanya di rumah saja. Hingga dia melihat satu nama yang bertengger paling atas di sana, ruang obrolannya dengan Aludra masih setia menduduki posisi pertama. Ada empat pesan yang belum dia buka sejak beberapa yang hari lalu, Adhara sudah membacanya dari bar notifikasi hanya saja dia tidak ingin membuka dan membalasnya, Adhara tersenyum sendu.

AstrophileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang