25

1K 89 5
                                    

Gadis cantik dengan jaket berwarna army itu melangkah dengan gontai, menyusuri koridor gedung B yang mana letak kelasnya berada. Tas berwarna tosca yang ia gendong, lengkap dengan buku-buku mata pelajaran hari ini dan beberapa peralatan penunjang kehidupan seperti power bank, earphone, dan dompet, seolah merupakan beban berat yang terpaksa ia bawa.

Adhara tak berniat untuk sekolah. Selain ia tidak tahu hari ini ada apa—tugas atau ulangan harian, atau maju hafalan, Adhara sudah terlampau nyaman dengan kasurnya. Mengeluarkan segala sesak pilu dalam telungkupan bantal. Adhara mendengus kala ia melihat sepatu sekolahnya. Bukan sepatu hitam sesuai peraturan sekolah, melainkan sepatu Converse hitam putih buluk yang biasa ia pakai. Ia pasrah tentang apapun yang akan terjadi hari ini. Kalau bukan karena pengap dengan keadaan rumah dan teman-temannya menyuruh untuk sekolah, Adhara enggan untuk berangkat.

Masuk ke dalam kelas, Adhara langsung dihampiri oleh dua gadis yang sebenarnya sangat ia rindukan.

"Heh, baginda ratu!"

Itu suara Gatari. Gadis berdarah betawi yang hari ini rambutnya dibiarkan tergerai. Jam tangan warna silver yang menunjukkan pukul setengah 7 pagi melingkari lengan kanannya yang baru saja menggebrak meja miliknya itu tampak pas di tangan putih gadis tersebut.

"Kusut amat mukanya kayak cucian kering," katanya lagi.

Adhara meletakkan tasnya di samping kursi duduknya, kemudian melepas jaketnya dan menyampirkan di belakang kursinya. Adhara kembali menatap kedua temannya secara bergantian.

"Gue laper."

Pada akhirnya Adhara menunjukkan muka belas kasihannya. Respon Gatari cuman mencabikkan mulut, dan Aprodhita dengan tiba-tiba menggebrak meja. "LESGO KANTIN!" Serunya kemudian. Membuat seluruh tatapan anak-anak kelas terpusat pada mereka.

"He-he-he. Gue juga laper." Aprodhita menyengir lebar.

"Yuk, lah. Mumpung belum bel."

Dan sekarang, mereka berada di kantin biasa tempat mereka langganan. Kantin Tante kata mereka. Kantin yang meja, tembok, gelas, piring, mangkok, dan sendoknya berkelir pink muda.

Perlu dijelaskan sedikit bahwasannya di sekolah ini ada empat warung kantin dalam satu area. Kantin pertama didominasi warna hijau, yaitu kantin Pak Diran. Kantin kedua didominasi oleh warna kuning, dulu sempat tutup karena pemiliknya meninggal tapi sekarang dibuka lagi oleh keturunannya. Kantin ketiga didominasi oleh warna merah, kantin yang tak pernah Adhara pijak karena mbak-mbaknya pakem dan kelihatan tidak ramah. Adhara nggak suka. Dan, kantin yang terakhir adalah kantin yang sebenarnya Adhara tidak tahu siapa nama penjualanya, tapi biasa ia panggil dengan Mbak. Adhara suka menggoda mbak-mbaknya karena mbak-mbaknya masig muda dan sangat ramah sampai kenal namanya dan dua temannya itu. Di setiap warung selalu punya 3 penjual yang mana perempuan semua.

"Lo mau makan apa?" Tanya Aprodhita yang masih berdiri. Niatnya ia yang akan memesankan makanan.

"Samain aja," kata Adhara sambil mengedarkan matanya melirik gorengan-gorengan yang tersedia di atas meja.

"Gue minum aja," sahut Gatari.

"Oke."

Sambil menunggu Aprodhita memesan, Adhara mengambil tempe goreng yang tampak menggoda di matanya. Masih anget.

"Dhar," panggil Gatari yang kini menatapnya intens.

"Hm?" Adhara masih sibuk mengunyah, sesekali ia menuangkan kecap yang udah dicampur sama cabai itu di atas tempe yang akan ia makan.

"Bolos kemana lo?"

Adhara menghentikan kegiatan mengunyahnya dan langsung menoleh ke gadis yang ada di sampingnya ini. "Kok lo tau gue bolos?"

AstrophileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang