19

1.1K 114 5
                                    

Orion menggeledah seluruh isi kamarnya; berharap menemukan sesuatu yang ia cari. Dimana ia meletakkan dompetnya tadi? Baru saja ditinggal mandi sebentar, sudah tidak ada. Memang pelupa dirinya itu.

“Di mana, anjir.” Tak lengkap rasanya jika tidak memaki.

Orion menghentikan segala usaha pencariannya ketika ia mendengar sebuah suara mobil memasuki pekarangan rumah. Orion sudah hafal betul dengan suara mobil ini. Ia segera turun dan menemui si pemilik mobil.

“Bunda?” katanya setelah menemukan Garini memasuki rumah. Ia segera mencium tangan Garini.

“Assalamualaikum,” salamnya kemudian dijawab oleh Orion,

“Waalaikumsalam.”

“Adhara kemana?” Garini berjalan untuk duduk di sofa ruang tamu, sedangkan Orion masih tetap berdiri di tempatnya.

“Adhara di rumah sakit, Bun.” Orion menjawab dengan nada seolah itu sudah menjadi hal yang biasa.  Garini yang baru saja meletakkan tas dan melepas sepatunya itu, dibuat tekejut dengan pernyataan yang diberikan Orion.

“Kok bisa?” ia membalikkan badannya dan kembali menatap Orion yang berdiri di belakang sana. Orion dapat menangkap rasa khawatir dan keterkejutan yang menyelimuti Garini.

Garini berdiri dan kembali menghampiri Orion. Menatapnya dengan seksama seolah berharap bahwa apa yang baru saja ia dengar merupakan kesalahan sensor yang diterima oleh telinganya.

“Tadi pingsan di sekolah,” jawab Orion.
Garini berlari kembali mengambil tas dan memakai sepatunya. “Bisa-bisanya kamu baru ngasih tahu Bunda.”

“Maaf, Bun. Orion pikir Bunda nggak bisa pulang hari ini.” Orion menundukkan kepalanya seolah ia sedang mengakui kesalahannya. Tapi, memang dia salah adalah benar adanya.

“Ya, sudah seharusnya dong kalian ngasih tahu Bunda. Masalah Bunda sibuk atau nggak, ya itu nanti. Kalau ada apa-apa sama kalian gimana? Siapa yang salah? Dikira Bunda nggak bisa ngurus kalian, kan?” Garini tidak marah, ia hanya khawatir dengan keadaan anak-anaknya. Mengingat ia jarang pulang ke rumah ini. Sekarang ia sudah berdiri di depan Orion yang semakin merasa bersalah karena membuat bundanya menyalahkan dirinya sendiri.

“Iya, Bun. Maaf,” kata Orion dengan sepenuh hati.

“Besok lagi jangan diulangi. Apapun yang terjadi, kasih tahu Bunda. Mengerti?”

“Iya, Bun.” Kini Orion seperti anak kecil yang kepergok melanggar nasihat ibunya.

“Ya, sudah. Pasti kamu mau ke rumah sakit, kan?” Tanya Garini sambil mengecek isi tasnya dan Orion mengangguk, “iya.”

“Bunda ikut.”

“Lah, Bun? Bunda ‘kan baru pulang. Bersih-bersih aja dulu. Lagian Rara juga udah nggak kenapa-napa, kok,” kata Orion melihat keadaan bundanya yang terlihat kecapekan itu.

“Emang Bunda bau, ya?” Garini mencium ketiaknya.

Orion meringis. Sepertinya ada yang salah dengan ucapannya barusan. “Nggak gitu, Bun, maksud Orion. Bunda ‘kan cap-“ Orion menghentikan ucapannya ketika Garini menatapnya seolah menyuruhnya untuk diam dan melaksanakan apa saja perintahnya. Tipikal-tipikal ibu-ibu otoriter terhadap seluruh isi rumah; termasuk anak-anaknya.

Garini mengedikkan kepalanya seolah menyuruh Orion agar cepat keluar dan berangkat ke rumah sakit. Ibu Negara sudah mulai menunjukkan taringnya dan Orion tak bisa berbuat apa-apa selain berkata, “iya-iya, Bun. Siap.”

Mereka berdua keluar rumah dan menuju garasi. “Kunci mobilnya?” Orion menyodorkan telapak tangannya untuk meminta kunci mobil Lexus warna hitam yang terparkir dengan gagah di garasi.

AstrophileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang