24

793 108 4
                                    


Aku nggak minta macem-macem, tapi just for your information kalian tau kan caranya mengapresiasi karya orang lain?👉👈 Dan sekecil apapun apresiasi dari kalian, secara nggak sadar bikin aku semangat nulis huhu♥️😭 makasih ya, buat supportnya!

Aku lebih seneng lagi kalo cerita aku dikritik, biar aku bisa benahin jadi lebih baik lagi okay!!



-------




"Terima kasih, Aludra."

Adhara memberikan helmnya kepada cowok yang sekarang sedang tersenyum lebar menatapnya. Rasa-rasanya aneh belakangan ini mereka seperti ada kemajuan dalam hubungan pacaran. Bukan hanya persoalan ketemuan di kantin sekolah, pulang sekolah bareng, setelah itu dia hilang tanpa kabar dan kembali membawa cerita-cerita. Hubungan mereka sekarang lebih berwarna. Aludra lebih banyak berbicara dan memberinya kebahagiaan lewat caranya sendiri.

Ia sadar bahwa Aludra sekarang lebih bisa jujur tentang perasaannya, lebih sering mengungkapkan apa yang dia rasakan ketimbang sebelum-sebelumnya yang harus hilang dulu baru mau cerita. Aludra menjadi Aludra yang menggemaskan. Mengungkapkan sayangnya lewat cara yang selalu Adhara tidak duga. Aludra seolah tahu kapan dia harus berkata jujur tentang mereka.. tentang perasaannya yang bertalu-talu.

Saat dia merasa tidak ada lagi orang yang membutuhkannya, tidak ada lagi orang yang akan selalu menyayanginya, di situ Aludra masuk dengan tepat mengatakan bahwa ia masih membutuhkannya, bahwa ia masih mencarinya untuk berbagi perasaan bahagia. Adhara selalu suka saat Aludra menjadi manis seperti itu, walau rasanya sedikit menggelikan.

"Ra."

"Iya, sayang?"

Adhara terkikik sendiri. Ia jarang—bahkan hampir tidak pernah memanggil Aludra dengan kata sayang. Kalau tidak percaya, tanya Aludra sendiri. Pipi Adhara akan selalu berubah menjadi merah jika ia dipanggil sayang, lalu bagaimana kalau cewek itu memanggil dirinya sayang? Oh, jangan ditanya. Sekarang dia sudah menutup mukanya dengan jaket dan memalingkan tubuhnya dari Aludra.

"Najis banget, lo. Kayak anak SD aja."

Mendengar selorohan tersebut, Adhara dengan cepat berbalik, mendelik kesal ke arah cowok yang masih setia duduk di atas singgasananya. Adhara mencubit lengan Aludra agak keras, bentuk refleks dari rasa kesal.

"Duh, anjir. Sakit tau. Kamu nyubitnya kenceng banget." Aludra mengusap bekas cubitannya.

"Ya, abisan.. kamunya jahat banget. Aku kan udah berusaha nahan malu tadi." Adhara menyedekapkan tangannya di depan dada, mulutnya mengerucut, dan matanya masih menatap kesal.

"Iya-iya. Maaf, ya, sayang?" Aludra mencubit kedua pipinya. Dan semburat merah muncul kembali di kedua pipi Adhara.

"Ya. Sana pulang."

Aludra tidak bisa lebih gemas dari ini. Bukankah ia pernah bilang kalau akhir-akhir Adhara agak sedikit lebih manja dari sebelum-sebelumnya? Kalau terus-terusan begini caranya, bagaimana bisa Aludra tidak untuk terus jatuh cinta? Rasanya ia seperti ditarik jauh ke belakang; mengingat bagaimana ia menggoda cewek itu di kantin, di depan teman-temannya kemudian semua meneriaki mereka.

"Ra."

"Apa?"

"You know the one who always there for you."

"Even you didn't tell me, i know who is that one already."

"Good girl. Call me as soon as you needed me."

Adhara tidak bisa lebih dari bersyukur karena Tuhan telah mempercayakan dirinya untuk bertemu cowok tinggi yang rambutnya sudah agak gondrong, yang sekarang menatapnya dalam. "Aye-aye, Captain."

AstrophileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang