31

711 81 16
                                    



Happy reading and enjoy it!





*****





Bulan berganti dengan cepat. Tanggal tua yang membuat hampir sebagian besar orang mengeluh karena krisis moneter yang dengan rutin bertamu—membentuk sebuah siklus yang tidak pernah diharapkan.

Ekonomi akhir bulan yang menyusahkan telah berevolusi menjadi awal bulan yang menyenangkan. Sebagian dari mereka memilih untuk memanjakan diri dengan bersenang-senang seolah tiada hari esok, meskipun mereka tahu bahwa penyesalan telah menunggu.

Begitu juga dengan tiga gadis yang memilih untuk menghabiskan Sabtu mereka yang cerah. Uang bulanan dari orang tua baru saja turun dan jatuh ke dalam kartu ATM mereka. Bersorak bahagia dan mengucapkan selamat tinggal pada hidup hemat yang membuat mereka lelah terus menahan nafsu makannya. Meskipun tinggal di rumah, terkadang mereka lebih sering untuk order makanan dari aplikasi daring dikarenakan kesibukan orang tua yang menyita peran sebagai ibu rumah tangga.

Pada dasarnya itu tidak berlaku pada Aprodhita, gadis belia dengan garis keturunan Sunda yang hampir tidak pernah kehabisan makanan di rumahnya menurut Adhara. Maksud Adhara, ya, ibunda gadis yang mencuri nama salah satu dewa Yunani yang terkenal dengan paras cantiknya adalah seorang ibu rumah tangga, full-time ibu rumah tangga—mengurus segala keperluan rumah dan anak-anaknya.

Dan di sinilah mereka, di rumah sederhana dengan nuansa abu-abu dan hijau pupusnya tampak segar dan nyaman di mata. Adhara dijemput Gatari dengan motor matic berwarna dove keluaran 2017 yang setia menemaninya kemanapun ia pergi.

Duduk di atas karpet bulu berwarna gelap di dalam yang ukurannya tidak lebih besar dari kamar Adhara, mereka duduk memutar melingkari jajanan dan piring-piring kue serta puding berwarna-warni. Tipikal rumah yang akan selalu didatangi oleh teman-teman dengan alasan kerja kelompok.

"Lo nggak dimarah sama bunda lo, Dhar?"

Sambil mencomot keripik singkong dari toples warna hijau tosca, Gatari mulai meluruskan kakinya, menatap Adhaa yang mengubah posisinya menjadi terlungkup dengan bantal di dadanya.

Adhara menggeleng sebagai jawaban. "Gue ijinnya mau belajar kelompok bareng kalian."

Gatari mengangguk dan kembali mengambil keripik singkong itu sebelum Aprodhita membuk pintu yang diketuk untuk mengambil nampan berisi gelas dan teko bening berisi es sirup yang diantarkan ibu nya.

"Tumben lo ngajak kita ngumpul di rumah gue? Biasanya kalau ulangan begini lo lebih milih buat belajar sendiri, and that's it. Tipikal orang yang kalau belajar harus dalam keadaan sunyi." Aprodhita menyuarakan pikirannya setelah meletakkan nampannya di sana.

Memang tidak biasanya mereka kumpul di rumah seperti ini karena mereka lebih sering menghabiskan waktu di luar. Ketika Gatari mengajak untuk ke main rumah Adhara saja, Adhara akan menjawab dia jenuh di rumah. Dan ketika Aprodhita bosan di rumah, berniat main ke rumah Gatari yang terkenal dengan lingkungan hijaunya—sungguh, katanya seperti rumah di dalam hutan—maka jawaban yang sama akan terlontar. Begitu siklusnya hingga mereka memutuskan untuk jalan-jalan di luar saja. Meskipun hanya duduk di tempat tongkrongan pinggir jalan sampai berjam-jam, setidaknya itu membantuk untuk membunuh rasa jenuh mereka di rumah.

Adhara menarik nafasnya dan menghembuskannya panjang. Pikirannya melayang jauh ke hari-hari sebelumnya, ketika hasil laboratorium keluar hingga bermain di mal kokas bersama adiknya. Dan itu semua bisa ditangkap oleh kedua teman terdekatnya itu.

"Need a friend to tell about somethings bothering you?"

Mendegar itu, Adhara memilih kembali mengubah posisi duduknya. Menyandarkan pada kasur yang berada di belakangnya, bergantian menatap Gatari yang bersandar di lemari panjang tempat pemiliknya meletakkan hiasan-hiasan kecil, kemudian berganti menatap Aprodhita dengan kue di tangannya yang baru saja ia gitit—menatapnya seolah menunggu teh untuk ditumpahkan.

AstrophileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang