26

1.1K 140 18
                                    

"Gue selesai."

Seorang cowok berbaju putih dengan dilapisi kemeja flanel yang didominasi warna merah itu menatap sosok di depannya dengan pandangan yang tak tahu bagaimana untuk menjelaskannya. Cowok yang sekarang berseragam lengkap, dengan baju yang sudah acak-acakan, jaketnya masih ia pakai memang, tapi tak khayal masih menunjukkan kekacauan pada dirinya.

Kepala cowok berseragam itu menunduk. Seolah menyembunyikan sesuatu yang tak seharusnya ia perlihatkan pada cowok berkemeja flanel di depannya ini.

Dia Orion, masih terlungkup di atas kasur berukuran single size di sebuah kosan kecil dengan kamar mandi dalam dan lengkap dengan AC. Kosan Febry. Seorang cowok asal bandung yang ngekos karena emang jarak rumahnya dengan universitas lumayan jauh. Rumahnya Jakarta Pusat, dan sekarang dirinya adalah mahasiswa semester 2 dari universitas jas kuning di Depok.

"Yon." Febry yang semula duduk bersila di samping tempat tidur, kini beranjak menghampiri Orion. Sosok pelajar yang sudah ia anggap sebagai adik sendiri.

"Gue nggak tau lagi, Bang. Gue pengen mati aja."

Febry mengusak kepala Orion, mencoba memberitahu bahwa di sini ia masih ada untuk mengharapkan derai nafasnya untuk selalu terdengar. "Yon, bangun."

"Ogah." Orion menggeleng dalam telungkupannya. Menolak untuk mengikuti perintah Febry karena ia tak ingin menunjukkan mukanya saat ini. Ia sadar ia menangis, ia tahu sekarang dirinya berada pada titik terendah.

"Dek."

Jika Febry sudah memanggilnya dengan panggilan tersebut, Orion tidak punya pilihan lain selain mengusap air matanya dan duduk bersila di depannya. Pertanda bahwa Febry sedang tidak dalam mode main-main.

"Lo malu nangis di depan gue? Lo inget nggak yang nenangin lo tiap kali cerita soal keluarga? Amnesia sekarang? Atau pura-pura lupa?" Febry berkata sebenarnya.

Orion bukan pertama kali menangis di depannya. Febry bisa dibilang saksi hidup Orion. Bagaimana Orion kecil berlari kepadanya dan bilang kalau dia udah nggak punya siapa-siapa, bagaimana Orion yang mulai pubertas datang menangis dan bilang kalau dia udah nggak punya harapan lagi, bagaimana Orion beranjak dewasa menangis dan katanya udah bosen sama hidup. Dia tahu segalanya tentang cowok itu, sekalipun hal yang tidak pernah diketahui oleh orang-orang rumah.

"Ayah Navis sama Bunda Garini resmi pisah kemarin."

Tepat setelah kalimat Orion selesai, Febry menarik nafasnya panjang dan menghembuskannya. Tidak seperti yang ia duga kalau perceraian orang tua mereka akan secepat ini.

"Terus, hak asuh?"

"We didn't under the same roof again." Orion menatap lantai dengan pandangan kosong. Menerawang jauh bagimana Tuhan menggambarkan kehidupannya begitu rumit.

"Dean sama Bunda?" tanya Febry dan Orion mengangguk membenarkan.

"Kalian udah gede. Bebas lah mau nentuin kalian tidur dimana. Nggak ada yang ngebatesin kan?"

Orion kembali mengangguk. Yang bisa ia lakukan sekarang hanya mengangguk dan mengangguk tatkala Febry memberinya wejangan-wejangan. Ia tidak tahu harus berlaku seperti apa dan ia tidak akan pernah tahu kehidupan hari esok akan seperti apa. Rasa-rasanya sekarang ia ingin menyudahi saja. Orion tidak tahu sebenarnya permasalahan hidupnya apa, yang ia tahu hanyalah tubuhnya udah capek buat ngejalanin ini semua.

"Gue lebih baik tinggal di apartemen aja," kata Orion.

"Lo yang bener kalo ngomong. Minta gue slepet mulutnya? Lo tuh cowok, kalo dikasih amanah ya dijalanin. Lo ikut bunda sama Radian. Ngejaga mereka."

AstrophileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang