37

653 60 16
                                    

Rumah bergaya minimalis, tetapi tetap terkesan mewah itu tampak menarik untuk selalu diperhatikan. Cat putih yang hampir mendominasi dengan sedikit sentuhan warna hitam yang terpoles dengan tepat di beberapa bagian terasa begitu sayang untuk dilewatkan. Besar, tetapi tidak penuh. Seolah pemiliknya dengan sengaja menyewa para arsitek dan mereka yang mengerti tentang tatanan rumah dengan baik rela dan tidak sungkan menyisihkan uangnya untuk itu. Kepuasan untuk sesuatu yang bisa dinikmati selama nafasnya masih bisa dihembuskan—siapa pun jika dia cukup untuk itu—mengapa harus menolak.

Halaman yang luas dengan taman kecil di sudut pagar terasa sangat pas untuk menampung semua orang yang datang silih berganti. Deretan karangan bunga yang tersusun dengan apik menyender pada setiap tembok pagar depan sampai pintu gerbang utama serta mobil-mobil berpelat merah dengan perpaduan angka kecil yang berjejer dengan rapi di setiap pinggiran jalan komplek mewah ini dengan jelas menegaskan situasi yang sedang terjadi. 

Rumah besar yang pernah dia sambangi sekali; ketika dia tanpa menduga sedikitpun akan bertemu dengan seorang lelaki dewasa yang dipanggil dengan "Pak" oleh sosok yang hampir setahun ini selalu berada di sisinya. Pertemuan sekaligus pengalaman pertama berkunjung ke rumah seseorang yang mengisi penuh perasaannya. Hari itu sangat menyenangkan, melihat sosoknya yang meringis di depan rumah karena sebuah hukuman yang harus dia dapat dari ayahnya terasa sangat kontras dengan keadaan di depannya saat ini. Suasana duka yang terasa mencekik siapa pun bagi mereka yang pernah atau bahkan masih menjalin relasi baik dengan pemiliknya.

Adhara berdiri tepat di antara kerumunan orang-orang berpakaian rapi dengan dominan berwarna gelap—hampir seluruhnya hitam; menatap sebuah peti berkelir putih yang pada setiap sisinya terdapat ukiran nan indah turun dari sebuah mobil ambulans dan digotong bersama memasuki kediaman tersebut. Dia memang tidak pernah melihat sosok yang terbungkus di dalam peti itu secara langsung, secara nyata, atau bahkan mengenal sebuah nama pun tidak pernah—tadinya—sebelum dia membaca sendiri nama yang terukir indah pada setiap karangan bunga yang berjejer rapi di sekitarnya, sebelum dia melihat dengan matanya sendiri sebuah foto berbingkai besar yang terpajang tepat pada gerbang utama. Seorang wanita dengan aura kewibawaan yang kentara dan Adhara percaya bahwa sosok itu terlahir lebih dulu dari bundanya—melihat tempat dan tanggal lahir yang tertulis jelas di bawah foto tersebut. Cantik dan auranya tergambar jelas bahwa beliau adalah sosok yang lembut. Sosok wanita yang memiliki senyum begitu indah itu hampir terasa sama dengan apa yang dia lihat ketika seseorang tersenyum padanya. Seseorang yang belakangan ini menjadi healing yang sempurna untuknya.

Tangis duka pecah di sana. Sanak saudara dan kerabat dengan pasti mengelap setiap air mata yang selalu mendesak keluar dari asalnya, mencoba berdiri dengan tegar sampai seorang wanita tua pingsan dan membuat kepanikan pada sekitarnya. Dia sang ibunda almarhumah, yang begitu terpukul kehilangan sosok anak perempuannya yang telah tumbuh menjadi wanita hebat, menjadi wanita yang dengan tulus dan penuh kasih sayang membesarkan seorang anak laki-laki. Seorang anak laki-laki yang telah tumbuh dewasa, keluar dari sebuah mobil yang hitam yang datang bersamaan dengan ambulans, terlihat sangat tegar dalam keadaan duka seperti ini. Terlihat jelas bahwa dia berusaha menutupi kesedihannya di depan para pelayat, di depan para teman-temannya, di depan para saudara-saudaranya, dan tentu saja di depannya—di hadapannya dia masih sama, tetap mampu membuatnya menjadi pusat dunia bagi gadis itu meskipun terlihat jelas muka sembabnya—dia tampan dan akan selalu seperti itu; salah satu sosok hebat yang pernah Adhara kenal dalam hidupnya.

Adhara tersenyum dengan beberapa linangan air mata yang berhasil lolos dari sudut matanya. Ingin rasanya dia berlari ke sana, menghampiri sosok laki-laki tegar yang mendapat pelukan penuh kekuatan dari teman-temannya, dari semua kerabat-kerabatnya yang menuangkan rasa empati dukacita. Dia ingin sekali merengkuh tubuh itu, menyalurkan segala beban rindu dan afeksi yang memang seharusnya dia berikan. Namun, dia harus menelan kenyataan pahit bahwa dia tidak bisa—dia tidak pantas untuk itu, bahkan tubuhnya pun setuju pada logikanya dan akan selalu berkhianat pada intuisinya.

AstrophileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang