21

1.2K 100 2
                                    

Adhara merebahkan tubuhnya dengan nyaman di atas kasur king size yang sudah lama ia rindukan. Walaupun beberapa hari tidak bertemu, tapi rasanya seperti setahun. Adhara selalu merindukan kamarnya ini yang selalu menjadi saksi bisu cerita-cerita pilunya.

Adhara menarik nafasnya dalam dan menghembuskan nafasnya panjang. Ia menatap jendela luar yang menampakkan langit dan rumah-rumah tetangganya beserta pucuk-pucuk pohon cemara, burung kutilang berbunyi, bersiul-siul sepanjang hari, dengan tak—oh bukan. Ini bukan saatnya untuk bernyanyi. Itu pucuk-pucuk pohon apa Adhara sendiri tidak tahu. Komplek rumahnya memang sepi hingga suara burung-burung liar itu terdengar.

"Kakak!" Radian muncul dari pintu dan berlari untuk memeluknya. Anak kecil kelas 4 SD itu menjatuhkan tubuhnya di atas Adhara, memeluknya erat seolah menyalurkan kerinduan yang teramat sangat.

Adhara balas memeluk Radian kuat. Ia sangat merindukan adik kecilnya ini. Adik kecil yang selalu bisa memunculkan kebahagiaan sendiri. Radian adalah timnya, sedangkan Orion adalah musuhnya. Mereka berdua selalu bersekongkol untuk menjatuhkan Orion yang selalu punya seribu satu cara untuk memancing emosi mereka berdua.

"Kak Ara kangen Dean. Banget." Adhara mengombang-ngambingkan tubuh Dean dipelukannya.

"Dean juga kangen Kakak. Bangeeett!" Dean melepaskan pelukan mereka dan mencium pipi Adhara.

"Dean ke sini sama siapa?" Adhara mendudukan dirinya di atas kasur dan Dean dipangkuannya.

"Sama Oma sama Eyang Uti."

"Ada Eyang Uti juga?"

"Iya." Dean mengangguk dengan semangat.

Eyang Uti adalah ibu dari Garini dan Oma adalah ibu dari Navis. Mereka hanya memiliki Nenek, tidak pernah merasakan kehadiran seorang Kakek. Kakek mereka sudah lama tiada. Entahlah, katanya hanya Orion yang masih ada ketika suaminya Oma itu hidup sedangkan suaminya Eyang Uti emang sudah meninggal sebelum Garini menikah. Adhara belum lahir, apalagi Radian.

Tapi, mereka bersyukur memiliki kedua Nenek yang masih sehat dan dekat dengan mereka. Eyang uti memang terlihat lebih muda daripada Oma karena memang usianya terpaut 3 tahun, kalau nggak salah.

"Oh, iya. Nanti malam, kata Bunda Arin, ayah pulang," kata Dean dengan luguhnya. Sebuah pernyataan yang sudah pasti mampu membuat senyum Adhara terangkat lebar.

"Oh, ya?" Siapa yang tidak senang jika mengetahui pada akhirnya keluarga yang—entah bagaimana tak pernah memiliki waktu untuk bersama, atau mungkin memang tidak ingin memilikinya, berkumpul kembali.

Keluarganya sudah berkumpul di sini dan Adhara berharap akan ada satu momen yang bisa ia kenang selama hidupnya nanti.

"Makan besar dong?" lanjutnya sambil memegang kedua tangan Radian yang kini mengangguk semangat.

"Yey!" Mereka berdua ber-tos-ria seolah baru saja menemukan keberhasilan mereka.

"Abang belum pulang ya, Kak?" Dean bertanya.

Adhara mengangguk. "Paling bentar lagi sampe rumah."

Dean melirik jam di atas nakas tempat tidur kakaknya. "Tapi, ini udah mau jam lima. Dan harusnya abang pulang jam setengah 4." Dean mengerucutkan bibirnya. Kesal bahwa Orion belum juga sampe rumah, padahal Dean kan kangen.

Adhara ikut melirik jam nakas tersebut. Ia berpikir hal yang sama, kenapa Orion belum juga sampai di rumah?

"Bentar," katanya setelah menurunkan Dean dari pangkuannya.

Adhara mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja belajar. Mencoba untuk bertanya kepada orangnya langsung perihal keterlambatannya untuk pulang.

AstrophileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang