27

862 93 14
                                    


Untuk menebus rasa bersalahku yang gak pernah u p d e a d.. nih buat kalian yang nungguin berbulan-bulan 4k+ words (:(

BAIK KAN AKU?!

Jangn lupa buat mengapresiasi waktu, tenaga, dan pikiran author ya guys! Luv u all💗💝💖♥️💓💕

Happy reading and enjoy it!






*****



Kota metropolitan yang tak pernah sepi selalu menghadirkan jutaan cerita pada setiap penghuninya. Saling senggol dalam memperjuangkan kehidupan, angin jahat yang tak berperikemanusiaan, pelan-pelan membiarkan penghuninya tenggelam dalam ketidakmampuan untuk menyusaikan. Jatuh, terperosok, lalu hilang.

Hingar-bingar yang memuakkan setiap jam keberangkatan maupun kepulangan, kota ini tidak pernah mati. Angkutan umum yang saling berebutan penumpang, ibu-ibu bersama anaknya yang berseragam dengan tidak sabaran menerobos jalanan, bapak-bapak dengan mobil yang dikendarainya dengan setia membunyikan klakson pada setiap yang menghalanginya. Manusia memang seperti itu, seenaknya sendiri, mementingkan dirinya sendiri, egois yang memang sudah sepantasnya melekat dalam diri mereka.

Adhara lalu bertanya pada dirinya, "Aludra telat sekolah nggak ya?"

Sekitar 15 menit yang lalu, Adhara mendapatkan kabar bahwa hari ini Aludra nggak bisa buat jenguk dirinya seperti yang biasa ia lakukan sepulang sekolah. Katanya ada urusan yang nggak bisa ditinggal dan saat ia tanya urusan apa Aludra malah meninggalkan centang satu abu-abu pada aplikasi WhatsApp-nya.

Biasanya juga kabaran lewat Line, tapi kebiasaan dia kalo urgent ya seenak jidatnya lewat mana aja. WhatsApp salah satunya. Aplikasi yang hampir atau sama sekali nggak ia buka kalau tidak ada pesan dari Mamanya yang di rumah dan Papanya yang bekerja di luar negeri.

Iya, luar negeri. Papa Aludra adalah seorang diplomat yang dipindah tugaskan di Vietnam sana. Aludra nggak bisa macem-macem semenjak papanya menempati pekerjaan itu. Kalau dipikir-pikir Aludra emang bukan anak yang royal, yang suka macem-macem kayak temen-temennya yang lain. Aludra itu sewajarnya anak remaja, nggak nakal. Ya gimana mau nakal, orang dia dan keluarganya aja diawasi sehari 24 jam oleh seseorang yang entah gimana wujudnya dan sosoknya. Sudah menjadi bagian dari ketentuan negara bahwa keluarga seorang diplomat patut diberi perlindungan oleh negara. Takut-takut ada spionase yang memata-matai dan mengincar mereka untuk dijadikan tawanan karena urusan perpolitikan, sudah biasa bukannya?

"Kak, makan dulu."

Itu suara Garini. Membuyarkan setiap rangkaian frasa yang coba ia susun untuk mendeskripsikan sosok Aludra yang dengan setia berputar dalam lingkup pikirannya. Adhara mengubah tatapannya dari jendela besar yang menampilkan pemandangan kepadatan kota di bawah sana menjadi menatap sosok Garini yang sudah berpakaian rapi, kelihatannya siap buat berangkat kerja.

"Iya, Bun. Taroh aja situ. Ntar aku makan."

Garini meletakkan tempat makan khas rumah sakit di atas pangkuan Adhara yang sedang duduk di kursi rodanya. "Makan sekarang. Kalau ntar-ntar malah nggak kamu makan."

"Ih, Bunda. Adhara lagi belum laper."

"Dimakan, sayang. Abis itu minum obatnya." Garini meletakkan botol tumblr yang berisi air putih bersama obat-obatnya yang harus ia minum.

"Iya, Bun."

"Bunda berangkat kerja dulu, ya? Kamu kalau ada apa-apa bilang sama Bunda, atau telepon abang. Jangan ayah, ayah kantornya jauh. Jangan oma juga, ntar Radian sendiri."

AstrophileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang