18

1.2K 130 6
                                    

Selang panjang yang terjulur dari sebuah cairan yang tergantung pada tiang di sebelah brankar mengalir hingga dalam tubuh seseorang.

Seorang gadis dengan telapak kaki penuh dengan memar dan bintik-bintik merah itu kini terkapar di bawah selang oksigen yang terpasang di kedua lubang hidungnya. Seolah tanpanya, ia tak bisa merasakan segarnya udara.

Baju seragam olahraga yang masih melekat sempurna dengan berbalut selimut khas rumah sakit seolah menegaskan bahwa dia adalah anak sekolah yang lemah tak berdaya. Di ruangan instalasi gawat darurat yang bernuansa putih itu, seorang gadis sedang terlelap di alam bawah sadarnya.

"Sus!" teriak seorang lelaki berseragam dengan tampilan yang berantakan, memasuki ruangan IGD di sebuah rumah sakit ternama.

"Iya, Dek. Ada yang bisa kami bantu?" jawab si suster dengan ramah.

"Pasien anak sekolahan yang baru aja masuk itu, dimana ya?" tanyanya dengan nada tidak sabar.

"Oh. Perempuan, ya?"

Pemuda itu mengangguk.

"Di sana, Mas. Kamar paling ujung." Suster menunjukkan letak brankar dimana seorang gadis tertidur.

"Makasih, Sus."

Ia segera berlari menghampiri brankar yang ditunjukkan suster tersebut. Menyibakkan tirai yang menutupnya, Orion menatap adiknya dengan pandangan tak terdeskripsikan. Kecewa, sedih, marah, semuanya campur aduk.

Adhara baru pertama kali ini tumbang sampai masuk rumah sakit. Paling dia hanya mimisan dan kelelahan, tidur dan dikasih obat seperti biasanya di UKS juga tidak lama pasti sudah sadar lagi. Sedangkan ini? Sampai masuk rumah sakit.

Orion tidak habis pikir. Apa yang sebenarnya terjadi pada adiknya ini. Ia menduduki kursi tunggu yang tersedia di samping brankar. Menggenggam tangan adiknya yang tidak terpasang infus. Sungguh rasa sakit yang juga ia rasakan.

"Tik," panggilnya sambil berharap bahwa Adhara baik-baik saja.

Tirai kembali tersibak, seorang suster yang berbeda dari yang tadi ia tanyai terlihat dengan membawa papan yang berisi kertas-kertas. Seperti sebuah rekam medis yang harus dilaksanakan.

"Maaf, Dek. Kalau boleh tau, adek ini siapanya?" Suster menuliskan sesuatu di kertas setelah tangannya mengutak-utik infusnya.

"Saya abangnya, Sus. Gimana?" Orion berdiri. Menyaratkan wajah khawatir ketika suster mulai menjelaskan perihal kondisi adiknya.

"Kami memerlukan persetujuan dari orang tua untuk melakukan test laboratorium. Segera."

"Maaf sebelumnya, Sus. Bisa saya aja yang mewakili? Orang tua tidak ada." Kata orion datar namun tegas kalau ia menuntut untuk yang menyetujui hal itu.

"Baiklah kalau begitu. Bisa ikut saya ke bagian administrasi?"

Orion mengangguk dan mengikuti kemana suster mengajaknya. Meninggalkan Adhara terkapar sendiri. Setelah menandatangani beberapa berkas persetujuan, Orion keluar dari ruangan dokter tersebut. Orion menyugar rambutnya dengan frustasi mendengar penuturan dari sang dokter.

Ia menyusuri lorong rumah sakit dengan dipandu suster tersebut. Orion membuka dompet hitamnya dari saku belakang celananya. Dompet yang menemaninya sejak ia duduk di bangku SMP. Awet sekali dompet itu. Syukur belum pernah kecopetan.

Miris rasanya ketika ia membuka isi dompet tersebut. Hanya ada beberapa uang puluhan dan ribuan. Kira-kira kalau untuk bayar rumah sakit Adhara tidak akan mencukupi. Orion memutar otak, kemana ia akan mendapatkan buang tersebut tanpa meminta kepada orang tua.

AstrophileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang