17

1.3K 135 7
                                    

Mentari pagi ini terasa menyengat di kulit. Terasa panas dan membuat gerah seluruh badan. Sama kayak ngeliat doi waktu jalan bareng cewe lain. Panas dan gerah seluruh jiwa dan raga.

Adhara sudah berada di pinggiran lapangan, duduk di bawah naungan pohon kersen yang rindang nan menyejukkan. Teman-temannya sedang berganti pakaian di dalam kelas. Iya, hampir semuanya ganti baju di dalam kelas. Nggak cewek, nggak cowok, semua jadi satu. Padahal waktu SD dulu mereka masih punya malu, tapi sekarang bahkan seolah mereka semua memiliki jenis kelamin yang sama. Seharusnya makin dewasa seseorang, makin tahu aturan, bukannya makin tak punya malu seperti ini.

Kalau kata Adhara untuk menjalin rasa persaudaraan yang kuat dan erat. Toh, mereka sudah tentu memiliki kredibilitas yang akurat.

Adhara sengaja ganti baju duluan karena memang dia sedang malas untuk berdebat dengan kaum lawan jenis agar tidak menghadap ke belakang. Dimana anak cewek sedang berganti pakaian dan anak cowok di depan sambil PUBG-an.

Adhara menelisik ke seluruh penjuru sekolahan, berharap menemukan seseorang yang selalu Adhara rindukan.

"Aludra lagi apa ya?" gumamnya sambil menatap kelas Aludra di penghujung lantai dua sana. Kelasnya nampak sepi menandakan adanya kegiatan pembelajaran oleh guru mata pelajaran.

Entah sudah hari kesekian dia tidak berjumpa dengan sang pangeran. Seolah kesibukan dunia yang fana ini mampu menepiskan segala kerinduan, meskipun setiap malam selalu mencuat kepermukaan. Terasa penuh dan menyesakkan. Bercampur aduk dengan segala beban hidup yang terus memberikan tekanan.

Aludra selalu sama. Menghilang tanpa ada satupun kabar burung yang terdengar di telinganya. Seolah menghilang secara tiba-tiba adalah suatu kebiasaan yang telah melekat.

Adhara curiga kalau Aludra ini sebenarnya selalu ada di sini. Beraktivitas seperti biasanya. Hanya saja dia sedang memakai jubah tembus pandang seperti yang dimiliki Harry Potter. Menjadikan dirinya tak terlihat padahal dia ada disekitaran.

Sempat terlintas bahwa Aludra sedang mengalami astral projection; dimana Aludra sedang tertidur lama, tapi jiwanya telah berkelana kemana-mana. Pikirnya, Aludra sedang berkeliling dunia di dalam tidur panjangnya, dan mungkin sekarang Aludra sedang duduk di sampingnya; mendengarkan segala keluh kesahnya pada angin semilir di bawah pohon kersen ini.

Entahlah, sejak kapan Adhara suka berhalusinasi.

"WOI! Ngalamun aja lo."

Suara seseorang mengagetkannya dari belakang. Tak ada angin tak ada hujan, ia datang tanpa maksud dan tujuan seperti jailangkung; menepuk pundaknya keras dengan suara melengking indah nan mencekam. Membuyarkan segala lamunan dan khayalan indah tentang seseorang yang teramat sayang.

"Ngapain sih lo di sini sendirian? Gak gabung sama yang lain?"  Manusia itu menempatkan dirinya di sebelah Adhara. Duduk dengan posisi yang sama. Memandang lapangan yang sudah mulai ramai oleh anak-anak kelasnya dan juga anak-anak lainnnya.

Ia melirik sebentar untuk memastikan manusia itu dan kembali menatap lapangan dengan tatapan sendu.

"Lo sendiri ngapain ke sini? Gak gabung sama yang lain?" tanya Adhara tanpa menatap orang di sebelahnya.

Ucen menyugar rambutnya yang mengembang itu dengan jari tangan.

"Males gue disuruh lari," kata Ucen dengan santai. Seolah kemalasan itu hanya sekedar mager kalau disuruh mandi.

"Penilaian, Woi! Ujian praktek kan?" Adhara menatap kakak kelas cowok di sebelahnya dengan alis terangkat. Menunjukkan dengan teramat sangat kalau dia heran dengan teman Abang-nya ini. Seolah nilai itu tidak ia butuhkan.

AstrophileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang