16

1.2K 142 10
                                    

Di sebuah taman dengan danau buatan dan pepohonan yang rindang, serta bunga-bungaan yang tersebar dengan indah dipenjuru halaman seolah tampak sebagai pemandangan yang cantik nan rupawan.

Tidak ada siapapun di sana dan dunia serasa milik berdua. Dia seolah menjadi sebuah layar yang menayangkan pemandangan indah di depan mata.

"Can i kiss your lip?"

Entahlah, laki-laki yang sangat ia kenal ini muncul darimana. Dengan kaos putih polosnya dan rambut jabrik yang --tumben sekali rapi-rapinya, mulai memajukan wajahnya. Tak lupa bibirnya yang ikut maju seperti bebek yang menyosor mangsanya.

Ini tepat di depannya.

Dan apakah ciuman itu akan terjadi? Ia harap begitu.

Ia sadar ia tersenyum. Menunggu bibir mainly itu tiba di bibir ranumnya. Sungguh ia malu ia telah berpikiran jorok.

Gadis itu tersenyum dalam tidurnya sambil memeluk guling dengan erat. Mengubah posisi tidurnya agar lebih nyaman. Entah apa yang terjadi dalam mimpinya, hanya ia yang tahu.

Satu.. dua.. dan yang seharusnya teejadi itu harus tertunda. Semuanya buyar kala suara berisik dari luar tak mampu dibendung oleh gendang telinganya.

Adhara tersadar dan ia terkejut. Barusan itu mimpi atau nyata? Melirik sekitar dan meraba apapun yang bisa ia jangkau. Ia pun tahu jawabannya.

Adhara mendesah lega saat ia sadar ia masih di atas kasur. Dan, suara berisik apa itu di luar sana?

Ia mengusap mukanya, menyibak selimut hangatnya. Ia bangun dari tidurnya dan duduk sebentar dipinggiran kasur, sedikit menetralkan rasa pusing yang melanda.

Ia mamatikan lampu dan menyibak gordennya. Mentari pagi menyambut dengan cerah seolah memberi secercah harapan untuk beraktivitas pagi ini.

Pagi ini?

Adhara segera melihat jam digital di nakas, dan ia mendesah lega kalau ini memang masih jam 7:16 AM. Iya, jam 7 pagi lebih sedikit.

Sungguh semua kebahagiaan yang muncul ketika bangun tidur tadi harus lenyap begitu saja melebur bersama angin kala ia keluar dari kamarnya dan disuguhkan tontonan saling adu mulut. Seorang lelaki dewasa dan remaja tanggung yang berdiri saling berhadapan.

Navis dan Orion.

Kedua laki-laki yang amat Adhara sayangi. Laki-laki yang selalu ia eluh-eluhkan itu kini sedang meneriaki satu sama lain.

Kakinya lemas, entah ia harus berpegangan kemana.

Ia tak pernah menyangka akan sosok ayahnya yang beringas saat ini. Tepat di depan matanya, ayah yang selalu ia kagumi menampar keras pipi kakaknya yang selalu ia sayangi. Sungguh kenyataan yang ikut menampar hati.

"Kamu kalau sudah tidak mau saya urus lagi, bilang! Jangan kelayapan nggak jelas seperti ini. Malu saya ngurusin anak seperti kamu."

Orion kini menunduk diam. Entah pandangannya kosong kemana, yang jelas Adhara tahu kalau Orion sedang tidak baik-baik saja.

"Kamu ini mau jadi seperti bapak kamu?! Kelayapan dan tidak pernah pulang. Kamu mau jadi seperti dia?!"

Bapak kamu?

Adhara di sana mengerutkan keningnya dalam sambil menonton pertikaian di depan.

"Kenapa diam? Nggak bisa jawab?!"

Orion masih bergeming. Ia menatap lantai dengan kosong. Tangannya mengepal seolah menunjukkan rasa marah. Namun, wajahnya tetap sama, datar dan kosong.

AstrophileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang