38

592 45 13
                                    


Adhara menatap surat yang terlipat dengan rapi di tangannya bersama sebuah amplop putih yang menegaskan bahwa surat ini ditujukan padanya. Dia membolak-balikkan setiap sisi surat tersebut, tujuannya mencari suatu titik terang; dalam rangka apa dia mendapatkan surat di Senin pagi yang tampak sedikit mendung. Matanya bergerak menatap sekeliling, takut-takut bahwa sang pengirim surat masih ada di sekitarnya.

Jika saja ini adalah tukang pos si pengirim surat, bukankah lebih masuk akal jika beliau menunggu dan memberikan surat pernyataan tanda terima barang? Namun, ini tidak sama sekali. Dia hanya menduga bahwa seseorang dengan sengaja mengirimkan padanya. Tidak mau berpikir terlalu jauh, Adhara memutuskan untuk melangkah kembali ke dalam, menutup pintu pagar kecil, dan menemukan sebuah kotak kecil yang tak sengaja dia tendang.

Kening Adhara mengernyit kebingungan, ini apa lagi?

Adhara tidak pernah merasa mempunyai penggemar selama hidupnya kecuali sosok pemberi permen karet di awal dia masuk sekolah, menjadi siswa SMA, dan memulai kisah yang indah-harusnya memang begitu-dan cowok itu lah yang memberikan kisah indah dalam masa SMA-nya sampai saat ini semuanya masih terasa sangat manis untuk diingat. Dia memang telah naik kelas dan menjadi kelas sebelas, tetapi bukan berarti masa kelas sepuluh adalah hal terburuk yang pernah dia rasakan-sebaliknya, Adhara ingin mengulang masa-masa itu.

Jika orang yang memberinya permen karet saat itu adalah orang yang sama dengan yang memberinya surat dan kotak kecil ini, bukankah semuanya terasa berbeda? Tidak ada lagi sikap tak acuh yang harus dia tunjukkan, tidak ada lagi rasa berbunga-bunga menyadari kebenaran siapa pengirimnya, dan tidak ada lagi cerita yang mampu membawanya pada titik kebahagiaan—Adhara tahu itu.

Hari ini adalah hari tepat di mana seorang ibu meninggalkan anak semata wayangnya, hari itu tepat seminggu di mana Aludra kehilangan sosok satu-satunya orang tua kandung yang dia punya. Adhara merasa berada di bawah tekanan yang menyesakkan belakangan ini, memikirkan bahwa dirinya terus berkonfrontasi untuk menghampiri sosok itu, memberinya pelukan dan berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. Aludra pasti sangat terpukul-tentu saja, memangnya siapa yang tidak akan merasa sedih jika kehilangan ibu kandungnya sendiri setelah sebelumnya keadaan mereka tidak baik-baik saja dan mungkin akan berakhir tanpa dirasa-dan Adhara merasa sangat buruk untuk itu. Namun, dia pun tidak tahu harus melakukan apa. Dia merasa sangat tidak pantas untuk berlari kembali pada sosok yang pernah membawa ribuan warna dalam hidupnya.

Adhara mengabaikan semua perasaan yang berkecamuk dengan tak tentunya, menutup gerbang rapat-rapat dan kembali masuk ke dalam rumahnya yang tampak sepi itu. Akan selalu begitu-dia rasa.

Semua yang terjadi belakangan ini membuatnya berkontemplasi dengan baik dan mencerna setiap bagian dengan apik. Mencoba menjabarkan satu per satu untuk kemudian dia konversi sedemikian rupa, membawanya pada satu kesimpulan yang nyata, bahwa dia dituntut untuk membuka sebuah jurnal baru. Tanpa keluarga yang utuh di bawah atap yang sama dan tanpa seorang yang mengisi penuh setiap desiran perasaan. Dia dituntut untuk menyelaraskan setiap bagian dari hidup dan Adhara berharap mampu untuk itu.

Perceraian, kehilangan, tangis air mata, semua berpadu dalam lingkup keputusasaan. Berada di bawah pada titik terendah bukan berarti dia harus terjun bebas ke dalam sana, menghilang bersama kegelapan, dan siapa yang sudi membawanya kembali selain dirinya sendiri.

Adhara menarik nafasnya dan mendudukkan dirinya pada sofa ruang tengah. Menatap kotak kecil dan amplop surat secara bergantian—masih berusaha dengan keras menemukan sebuah benang yang mampu membawanya mengerti atas apa yang dia dapat kali ini. Dia masih enggan untuk membuka surat ini, takut-takut isinya bahwa setiap klausa yang tertulis di dalam lembar putih itu akan membawanya pada satu perasaan yang sama; kehilangan.

AstrophileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang