39

755 75 50
                                    

Kegelapan malam tak mampu menghantarkan kerinduan yang begitu sesak. Sebulan berlalu sejak kepergian Aludra yang bertualang di negeri orang, Adhara didesakkan rasa kesepian yang begitu dalam. Di atas kasurnya yang begitu nyaman, pukul setengah satu malam gadis itu menggenggam satu cetakan foto polaroid mereka berdua yang diambil ketika kencan di sebuah tempat wisata; dufan.

Senyuman cerah yang tercetak di wajah Aludra semakin mendesak air mata untuk keluar. Perlahan nafasnya memburu, terengah-engah menahan sesak yang terus menekan aliran darahnya. Lihat lah betapa bahagianya mereka dulu — berbagi duka, memahami rasa tanpa kata, kemudian tertawa bersama — itu terdengar seperti dua sahabat lama yang kemudian jatuh cinta yang eminta lebih pada takdir untuk menyatukan mereka dalam kepemilikan yang mutlak. Namun, pada nyatanya mereka adalah kesengajaan yang sempurna.

Dalam balutan selimut berkualitas berwarna abu-abu terang, Adhara kembali memeluk realitas pahit. Aludra memang benar-benar pergi darinya. Hanya menyisakan kenangan yang bahkan rasanya masih tidak rela jika Adhara sematkan sebagai masa lalu.

Jadi, jika kalian bertanya bagaimana bagian ini bermula, begini; hari di mana dia meraung menyadari kebodohannya yang terus saja menggampangkan akan sesuatu, merengek kepada siapapun di sana untuk membawanya menemui remaja laki-laki itu, tidak ada sama sekali yang dilakukan selain menunggu.

Baik Orion maupun dirinya sendiri telah berusaha — setidaknya melakukan apa saja yang dirasa masuk akal — untuk menghubungi semua nomor dan sosial media Aludra. Namun, kenyataan kembali menamparnya. Respon yang ditunggu tak kunjung hadir. Tidak ada satu pun akses tersebut yang dapat menghubungkannya dengan sosok yanh memiliki lesung pipi di sebelah kanan.

Asumsi dan praduga terus bermunculan di kepalanya, menghantam rasa penyesalan semakin keras, jauh terperosok ke dalam jurang kegelapan; Adhara hampir menyerah dengan keadaan.

Hari dilalui dengan berat. Minggu pertama liburan kenaikan kelas terasa sama sekali tidak menyenangkan. Berulangkali Adhara menanamkan sugesti pada dirinya, bahwa apa yang terjadi kini adalah sebuah konsekuensi — dia harus berlapang dada — dan ketika tahu apa yang terjadi; rasa itu semakin menggerogoti dadanya, semakin lama dirasa semakin sekarat rasanya — ya Tuhan, Adhara hampir mati — dan bahwasannya sia-sia Orion beserta seisi rumah, yang kemudian terpaksa Garini harus menetap di sana untuk beberapa waktu guna membujuk Adhara agar memakan makananya dengan rutin.

Pada akhirnya, Adhara tumbang. Tidak berdaya menahan itu semua. Itu terasa seperti semesta menghakiminya atas sesuatu yang telah dia akui memang salah. Ketika pagi hari tiba dan Radian, Si Anak Laki-laki Yang Tampan, memasuki kamar Adhara dan menemukan kakak gadisnya itu nyaris sekarat di atas kasur, di mana darah merembas keluar dari hidung mancungnya, bibir pucat tak mampu lagi mengucap, memar biru dan nyaris hitam di mana-mana, hingga suhu tubuh yang rasanya bisa membuat matang satu buah telur ayam negeri, Adhara benar-benar sedang dalam keadaan serius.

"Sayang, bertahan." Garini menangis kala tubuh anak gadisnya itu kejang. Hampir membuat dirinya mati ketakutan karena — for the God shake — suhu tubuh yang teramat panas hingga kejang bukanlah sesuatu yang baik, sungguh bukan hal yang teramat baik. Duduk di jok belakang mobil dengan kepala Adhara dipangkuan pahanya, Garini terisak keras. Perasaan kalut dan takut dirasakan pula oleh sosok remaja lelaki yang duduk di belakang setir kemudi. Masa bodoh dengan jalanan dan lampu merah, Orion mengendarai mobil seolah di depan sana ada sebuah tropi yang menanti untuk diperebutkan, realitasnya bahkan lebih dari itu. Ini adalah tentang sebuah nyawa yang dipertaruhkan.

*****

"You told me that you don't need this, was it?"

Dua orang remaja terlihat sedang mendebatkan sesuatu di dapur dengan aksentrik khas Eropa itu. Seorang nona muda dengan rambut coklat gelapnya tengah memegang sebuah kotak putih bergambar ponsel di sampulnya dengan merk ternama, sedangkan yang satu duduk di bar dapur dengan tatapan kesal — amat sangat kesal hingga rasanya ingin menimpuk muka nona muda itu dengan sebuah panci — karena sungguh dia membutuhkan benda itu saat ini, tetapi kenapa wanita di depannya itu malah mempermainkannya, Orion menggeram.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 11, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AstrophileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang