1. Tampak Punggung

8.9K 813 231
                                    

Gemina mengagumi display di tengah ruangan. Buku serial Algis ditumpuk membentuk mata tombak. Sesuai arti nama Algis, sang tokoh utama. Mbak Zara, sepupunya, selalu punya ide brilian menata buku bestseller.

Ia mengambil browsing copy seri terakhir. Warna dasarnya hijau gelap. Ilustrasinya artistik, dengan tombak sebagai menu utama. Gemina kenal perancangnya. Juno Dewangga, salah satu dewanya dunia desain grafis, alumni dan dosen tamu di jurusan Desain Komunikasi Visual.

Dibawanya novel karya Radmila itu ke pojok favoritnya. Jantungnya sudah berpacu cepat dengan kegairahan. Algis, di buku sebelumnya kamu bikin aku histeris dengan keputusanmu mengorbankan diri demi keluarga angkat. Apa yang terjadi sekarang? Ah, greget. Baru kali ini Gemina jatuh cinta pada tokoh fiksi, anak kecil pula.

Setelah beberapa halaman pertama, Gemina mengembuskan napas lega. Matanya basah karena terharu. Syukurlah. Penulis tidak tega melukai tokoh utamanya. Selalu ada cara kreatif Radmila menyelamatkan Algis dari situasi sulit. Gemina menyusut ingus, mengubah posisi duduk. Meneruskan membaca.

"Halo! Mbak Dita sudah lihat foto kirimanku, kan? Jadi, gimana?" Seseorang berbicara.

Gemina mendongak terkejut mendengar suara tajam itu. Dari tempatnya, ia melihat seorang lelaki muda berdiri menjulang di antara dua rak buku remaja. Berbicara di ponsel.

"Ini yang terburuk, Mbak. Buku ketiga ditumpuk di lantai. Buku kesatu tidak terlihat di mana pun. Dan buku kedua ada di rak nonfiksi." Lelaki itu mengomel. Tangan kirinya yang memegang sebuah novel bergerak-gerak.

Gemina menelengkan kepala, menegur diri sendiri yang mudah sekali terganggu. Kembali berfokus pada bacaannya. Sorry, Algis.

"Checker? Kalau benar ada, berarti kerja checker-nya ngawur! Ini toko ketiga yang aku cek. Di toko satu lagi, buku-bukuku malah masih di gudang. Bayangkan, di gudang! Dan pramuniaganya enak saja bilang buku sudah habis. Padahal stok masih ada 10 eksemplar masing-masing. Sepertinya tidak hanya di Bandung, Mbak. Buktinya, tiap bulan cuma laku kurang dari 100 eksemplar di seluruh Indonesia--"

Kalimat lelaki itu terputus. Novel diletakkan di atas deretan buku, dan tangannya mengacak-ngacak rambut sendiri. "Mbak Dita, bagaimana buku bisa jadi bestseller kalau display-nya kacau begini? Jangan bilang buku harus survive sendiri di toko buku. Penerbit harusnya lebih peduli dan proaktif. Tampak punggung di rak belakang saja sudah buruk, apalagi begini. Aku akan protes ke manajer toko."

Gemina buru-buru menunduk, saat lelaki itu tiba-tiba memutar badan menghadap ke arahnya. Baca baca baca .... Bukan salahnya kalau ia mendengar pembicaraan orang itu, kan? Siapa suruh teriak-teriak? Gemina menyemburkan napas. Penuh tekad untuk kembali larut bersama Algis.

Dan berhasil. Ia kembali diharu-biru sampai meneteskan air mata. Kembali terkikik geli walaupun matanya masih basah. Hanya sekilas ia melihat lelaki itu menjauh, lalu kembali dengan Mbak Zara. Bukan urusannya. Gemina sedang menahan napas. Bagian ini mendadak menegangkan. Napasnya jadi sesak.

Diletakkannya novel di lantai. Lebih baik mengurangi ketegangan dengan menggambar sebentar. Seri Algis tidak disertai ilustrasi. Mungkin penulisnya ingin pembaca berimajinasi bebas. Dan Gemina punya imajinasi sendiri tentang Algis. Ia mendedikasikan satu buku untuk ilustrasi Algis dengan gaya manga. Sejak SMP, ia bercita-cita menjadi mangaka. Dan sejalan waktu, ilustrasi manganya semakin berkarakter. Setidaknya begitu kata Bu Herlina. Dosen mata kuliah Ilustrasi Dasar yang terkenal pelit pujian.

Kali ini, Gemina membuat sketsa ekspresi Algis yang terperangkap dalam lubang. Berkonsentrasi pada mata. Bening, bercahaya, tanpa dosa. Gemina merasakan matanya panas lagi. Bertahanlah, Algis sayang. Gunakan segala kecerdikanmu.

The Visual Art of Love (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang