"Garin, kamu janji mau ajak aku ke rumah lama."
"Ya. Nanti kalau kamu sembuh."
"Aku enggak akan sembuh."
"Nanti kalau orang yang mengontrak di sana sudah pindah."
"Kapan?"
"Dua bulan lagi."
"Aku sudah keburu mati. Aku harus ke sana. Besok."
"Mau apa?"
"Kamu lupa time-capsule yang kita tanam dulu. Aku mau pindahkan ke sini."
"Enggak, aku enggak lupa. Tapi kayaknya kaleng kita sudah hilang, atau terkubur."
"Kenapa?"
"Karena Mami membangun gudang di atasnya. Aku baru tahu belum lama ini."
"Di belakang rumah?"
"Ya, tempat kita kubur kaleng itu—Algis, kenapa kamu ketawa?"
"Berarti kaleng kita aman. Aku sudah memindahkannya ke dekat sungai."
"Kapan?"
"Sehari setelah kita kubur waktu itu. Aku kan sudah bilang, sebaiknya kita kubur di dekat sungai. Tapi kamu enggak mau dengar. Jadi, diam-diam aku pindahkan. Ternyata aku benar. Ayo, katakan, aku benar."
"Ya."
"Ya apa?"
"Ya, kamu benar."
"Oke. Besok kita ke sana."
"Algis—"
"Janji ya, besok antarkan aku ke sana."
"Aku janji."
-------------------------------
KAMU SEDANG MEMBACA
The Visual Art of Love (SUDAH TERBIT)
Romance#Dapatkan di mizanstore.com atau toko buku terkemuka# Penerbit Pastelbooks A heart to unbreak. A soul to rest in peace. Gemina Inesita: mahasiswi Desain Komunikasi Visual, calon ilustrator. Tugas kuliah seabreg, Tante Kost bertingkah, pemasukan pas...