.... Oliva memutuskan pertunangan kami. Ini yang terbaik buat kami berdua. Oliva mengembalikan cincin dengan pesan agar aku memberikannya pada gadis yang tepat di waktu yang tepat.
Gemi, jemarimu panjang-panjang dan berisi. Aku harus bikin cincin baru, kalau gini ....
Itu lebih dari yang ingin didengar Gemina. Meskipun pernyataan itu implisit, IgGy mengucapkannya penuh ketegasan sambil memandangnya. Mata Gemina membulat. Bukan tidak percaya, ia benar-benar tidak menduga.
IgGy tersenyum. Melepaskan tangannya. Beralih menepuk kepalanya. "Aku tahu. Ini terlalu cepat. Take your time. Aku menunggu sampai kamu siap."
Gemina menelan ludah. Bukan begitu. Eh ya, itu juga sih. Tapi .... Mendadak gelombang pasang perasaan menerjangnya. Melumpuhkan setiap sel nalar di otak. Wajahnya menjadi panas oleh rasa malu. IgGy mencintainya! Garin mencintainya! Gemina ingin berteriak. Cowok itu juga sudah tahu perasaannya sama, malah tumbuh lebih dulu. Bersambut .... Hanya soal waktu.
Tapi ... ya Tuhan ....
Gemina tertegun.
Jalannya masih panjang. Sadarkah IgGy, bakal berapa lama menunggunya?
Gemina baru 20 tahun, masih kuliah, harus selesai dulu, pengin kerja dulu untuk bisa membiayai Panji sekolah dan mempensiunkan Abah. Lalu bagaimana dengan Kak Citra yang seumuran IgGy? Punya cowok saja belum. Masa ia melangkahi kakaknya?
Sedangkan IgGy sudah 25 tahun, sudah matang, sudah siap, tapi putus dari Oliva gara-gara dia. Harus mulai dari awal lagi. Menunggu.
Lalu bagaimana perasaannya sendiri saat waktunya tiba nanti? Apakah tetap kuat seperti sekarang? Bagaimana kalau berubah? Kemungkinan itu ada kan?
Ya Tuhan. Badai pikiran dan emosi ini membuatnya kehilangan pegangan dan pijakan. Gemina gemetar dan susah payah menyembunyikannya dalam senyum semringah. Dan IgGy tampak terkesima memandangnya, membuat Gemina semakin merasa bersalah.
Ia mendorong dada IgGy. "Sudah. Daripada bikin aku baper, mending ambilkan aku minum."
IgGy tertawa halus dan beranjak ke pantry. Gemina buru-buru lari ke kamar mandi dan menguncinya. Dengan punggung disandarkan pada pintu, ia merosot duduk di lantai. Lemas.
Apa yang harus dilakukannya?
Membiarkan IgGy menunggu entah sampai kapan, sungguh egois.
Tiba-tiba saja wajah Oliva melintas di benaknya. Ia kalah dalam segala hal. IgGy keliru mengambil keputusan. Melepaskan wanita sesempurna itu untuk dirinya yang bahkan tidak bisa mengambil keputusan. Gemina membenturkan kepala ke pintu dengan jengkel.
Oliva benar kalau menganggapnya cewek labil. Ia yakin, bukan dirinya yang dimaksud Oliva sebagai gadis yang tepat saat melepaskan IgGy. Ia justru menempatkan IgGy di dalam perahu di tengah laut, terkatung-katung. Dermaga untuk berlabuhnya masih jauh, bahkan tidak meyakinkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Visual Art of Love (SUDAH TERBIT)
Romance#Dapatkan di mizanstore.com atau toko buku terkemuka# Penerbit Pastelbooks A heart to unbreak. A soul to rest in peace. Gemina Inesita: mahasiswi Desain Komunikasi Visual, calon ilustrator. Tugas kuliah seabreg, Tante Kost bertingkah, pemasukan pas...