18. Oliva

1.8K 494 34
                                    

Sarah hendak berbalik lagi ke kantor. Gemina menahannya. "Mbak, ada apa sebetulnya? Bu Radmila marah karena komik Runako?"

Sarah menggeleng. "Aku enggak yakin. Komik atau sketsa. Mungkin semuanya. Ibu melemparkan vas bunga dan bukumu ke dinding. Aku enggak berani ambil. Tapi marahnya jelas ke anaknya. Ikuti saranku, Gemi. Pergilah dulu ...."

"SARAH!" Radmila berteriak di ambang pintu. Matanya mencari-cari dan menemukan mereka berdua di selasar.

Gemina merasakan dua tusukan sekaligus. Di kepalanya, saat migrain bereaksi terhadap ketegangan yang dirasakannya. Dan di hatinya, saat Radmila menatapnya. Sarah mendorongnya untuk segera pergi. Tapi bukankah sudah terlambat? Lagi pula pengecut sekali kalau ia lari. Jelas, komik Runako—ya Tuhan, dan sketsa Orline!—telah menimbulkan reaksi emosional pada Radmila seperti artwork RaKa dulu. Dan sebagai kreatornya, Gemina yang harus bertanggung jawab. Apa lagi kali ini inisiatifnya. IgGy tidak tahu-menahu.

Tapi IgGy sekarang sudah tahu. Entah apa yang didengar IgGy dalam kemurkaan ibunya. Gemina semakin khawatir. Pandangannya mendadak kabur oleh airmata, tapi ia melangkah maju, satu tangan masih dipegangi Sarah.

"Bu, Garin enggak tahu soal komik dan sketsaku itu. Semua inisiatifku ... untuk ...." Gemina menelan ludah. Untuk apa?

Radmila sudah mengibaskan tangan. Tidak mau mendengar. "Kamu enggak tahu apa-apa. Tapi berani turut campur. Apa yang kamu dapat dari IgGy untuk menyakiti hatiku lagi? Enggak cukup ya lolos dari masalah di kali pertama? Kamu merasa harus menggunakan bakatmu untuk benar-benar menghancurkan seseorang?" Setelah berkata begitu Radmila masuk ke kantor, dan membanting pintu.

Sarah menyentuh lengan Gemina. "Jangan diambil hati. Dia lagi marah sama IgGy. Pergilah sekarang." Lalu ia terbirit-birit menyusul masuk karena namanya dipanggil lagi.

Air mata Gemina mengalir ke pipi sekarang. Bersamaan datangnya gelap sesaat dan sensasi isi kepala seperti diperas. Ia ingin menjerit saking nyerinya. Tapi akal sehatnya masih berfungsi. Ia berpegangan pada dinding sampai penglihatannya terang kembali.

Dilihatnya Mak Asih datang menyodorkan segelas teh hangat. Gemina meminumnya. Manis. Apa boleh buat. Mungkin gula dapat membantunya bertahan sampai ke rumah Loka. Ia tidak ingin lari. Tapi berdiam di sini dengan migrain berat pun tidak membantu. Ia mundur dulu sampai Radmila tenang, sampai keadaannya sendiri membaik. Lalu kembali untuk membereskan kesalahpahaman ini. Cuma kesalahpahaman, bukan?

Gemina mengambil ransel dari kamar. Keringat dingin sudah turun deras. Beruntung ia mendapatkan taksi di depan rumah. Dan jauh lebih beruntung lagi karena Loka bisa diandalkan. Tidak banyak bertanya saat ia sampai dengan tubuh lemas. Loka memberinya minum hangat dan membiarkannya berbaring. Gemina pun tertidur setelah bergulat dengan keinginan untuk menelepon IgGy. Rasionya menang, biar IgGy yang memutuskan sendiri perlu meneleponnya atau tidak. Ia sudah cukup membuat kerusakan alih-alih membantu cowok itu.

Tidurnya tidak nyenyak. Putus sambung hingga lewat tengah hari. Loka datang membawakan bubur ayam. Makanan hangat membuat perasaan Gemina lebih baik. Ia belum bisa bercerita banyak pada Loka tentang masalahnya dengan Radmila. Ia sendiri bingung. Loka mengerti dan mencoba mencairkan suasana dengan bercerita tentang dua cowok yang ditemuinya kemarin.

"Dua, bayangkan! Enggak boleh yang satu itu, eh dikasih gantinya sekaligus dua. Aku jadi bingung sekarang."

Gemina terkikik. "Bidik salah satu saja, biar tepat. Kalau plinplan malah luput dua-duanya."

"Itulah. Dua cowok ini bersahabat. Tetanggaan malah. Di kampus sering terlihat bersama, terutama kalau baru datang. Dua-duanya ganteng. Baik. IPK bagus. Aktif di kegiatan kemahasiswaan. Satu seangkatan kita, anak Arsitek. Satu lagi kakak kelas, dari jurusan Elektro."

The Visual Art of Love (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang