17. Road to Chaos (part 1)

2K 501 56
                                    

Semester 3, straight A lagi. Gemina bersyukur berhasil membuat Abah bangga dan merasa tidak sia-sia mengeluarkan biaya besar. Sekarang, delapan mata kuliah untuk Semester 4. Jadwalnya padat, Senin hingga Kamis dari pagi sampai sore. Kalaupun ada kosong, paling satu-dua jam di antara dua mata kuliah, lebih efektif dihabiskan di kampus untuk belajar atau mengerjakan tugas. Jumat hanya sampai pukul 12, untungnya.

"Aku tahu apa yang ada di kepalamu," kata Loka mengetuk jidat Gemina yang terpapar, karena rambutnya yang mulai panjang diikat ke belakang sekenanya. Gemina belum sempat potong rambut, bergabung dengan klub kuncir-asalan Bismaloka. "Pasti sedang membandingkan jadwalmu dengan IgGy. Dan sepertinya enggak terlalu beruntung."

Gemina mencebik. Tidak menjawab. Masih ada sisa libur, tapi jelas untuk bekerja. Cukuplah seminggu pertama ia membiarkan dirinya terserang demam pesona IgGy. Anggaplah masa penyesuaian tinggal di tempat baru. Masa-masa kesambet sang penunggu.

Mulai minggu kedua ini, Gemina bertekad menjauhi gangguan dan bekerja lebih sistematis. Radmila sudah menyetujui rancangan karakter Algis, ilustrasi selanjutnya mungkin akan lebih mudah. Sarah sudah mengirim kabar bahwa Runako belum disentuh Radmila. Lebih melegakan lagi, Radmila ternyata melanjutkan lawatannya ke Bangkok. Itu memberi Gemina waktu tambahan untuk misi diam-diamnya. Komik Runako versi realistik. Tersimpan aman di dalam tasnya yang ia bawa ke mana pun pergi. Komik enam halaman itu ia buat di buku terpisah, sepenuhnya manual. Sudah hampir selesai.

Untuk urusan pribadinya sendiri, Gemina merasa puas meskipun kamera belum terbeli. Uang muka dari IgGy dan Radmila tempo hari sudah ia kirimkan sebagian kepada Abah, sebagian lagi untuk biaya hidupnya. Segera, kalau ia sudah menyetorkan empat ilustrasi Algis dan tiga komik Runako secara sempurna, ia bisa membeli kamera, barangkali tepat saat kuliah Fotografi Aplikatif dimulai.

"Bis, kamu sudah normal lagi, kan?"

"Loka," Gemina melotot pada sahabatnya yang beralih mengusik Bisma.

"Enggak apa, Gem. Loka cuma gatal mau bilang, 'tuh aku bilang juga apa!'" Bisma menegakkan badan, menantang.

Loka cemberut. "Enggak kok. Kadang pelajaran keren memang perlu dialami sendiri." Dan ia mendapat jitakan keras dari Bisma. Loka membalasnya dengan tarikan rambut. Sesaat kemudian adegan saling jambak yang ditingkahi jeritan memecah ketenangan selasar student center. Untung masih libur dan sepi. Gemina menjauhkan diri dari pergulatan, bahaya kalau gambarnya tersenggol. Loka dan Bisma sama-sama melampiaskan kegeraman masing-masing, demi perdamaian selanjutnya. Jadi, ia biarkan sampai reda sendiri.

Dan akhirnya memang mereda sendiri.

"Oh ya Gemi, kamu mau pulang jam berapa? Bareng aku saja. Mau mampir ke Oliva, katanya sekitar jam segini ada di rumah. Ada barang-barang kenangan masa SMA dari Saskia buat dia."

Gemi menengok arlojinya. Senin pukul 11.30. IgGy mungkin sudah pulang dari Sumedang. Aaah. "Registrasi sudah beres. Tadinya aku mau lanjutkan meninta komik di sini. Tapi kalau kalian bubar, aku sendirian malas juga."

"Sorry, Gemi. Aku janji mengantar Wulan ke sanggar tari. Tuh, anak tambah gede tambah manja saja."

"Enggak usah ngeluh kalau tujuan kamu sekalian mampir ke studio Kak Juno." Bisma tergelak, sambil menyiapkan diri dari serangan Loka. "Hati-hati loh, studio yang dekat sanggar tari itu kan berdampingan dengan rumahnya."

Ujung hidung Loka terangkat. Mendengkus. "Lihat pintunya doang, Bis, sudah senang hatiku. Masa enggak boleh? Semester ini kecil kemungkinan Kak Juno mengajar kita soalnya."

Bisma menggeleng-geleng. Dan tiba-tiba beralih kepadanya. "Gemi, jangan sampai kamu terobsesi kayak gitu ya sama IgGy. Cukup Loka saja. Ngeri tahu! Apa cewek selalu gitu ya? Aku sama Violeta saja cukup seminggu ...."

The Visual Art of Love (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang