Random 1

3.7K 661 77
                                    


"Garin, kalau kamu mati dan malaikat menanyakan namamu, kamu jawab apa—"

"Kamu bicara soal mati lagi. Aku enggak suka. Enggak akan ada yang mati kalau belum waktunya. Jangan percaya sama dokter-dokter itu, Algis."

"Enggak. Ini beda. Oke, lupakan malaikat. Aku mau bilang, nama itu hanya konsensus. Kesepakatan manusia untuk melabeli suatu konsep. Contohnya, konsep posisi dengan nama atas dan bawah, atau kanan dan kiri; juga konsep bentuk dengan nama bulat dan kotak. Kalau kamu sejak lahir diajari konsep-konsep itu dengan nama-nama terbalik, maka kamu akan bilang, langit ada di bawah dan tanah di atas; bumi itu kotak dan kardus sepatunya bulat. Nama sekadar nama. Bisa dibolak-balik, ditukar-tukar. Jadi, kamu bisa menyebut diri sendiri dengan nama apa saja."

"Apa gunanya? Konsepnya kan tetap. Aku tetap aku."

"Siapa bilang? Kamu juga bisa mengubah konsep diri. Kamu adalah apa yang kamu yakini. Kalau kamu yakin kamu jahat, kamu akan melakukan hal-hal yang mendukung keyakinanmu, dan jadilah kamu jahat. Kalau kamu merasa sebagai produk gagal, apa pun yang kamu lakukan, enggak akan kamu lihat sebagai keberhasilan. Aku bisa menjadi kamu, bisa pakai namamu."

"Hakikatnya, aku tetap aku, kamu tetap kamu. Yang berubah cuma persepsi. Sepihak pula. Orang lain tidak bisa menerima begitu saja. Lagian, aku enggak mau ganti identitas. Aku mau tidur. Ini sudah tengah malam."

"Tapi andaikan identitas bisa dipilih. Laki-laki, 13 tahun, tampan, sehat, cerdas. Versus, laki-laki 11 tahun, yang meskipun genius, akan mati dalam enam bulan lagi. Kamu pilih mana?"

"Aku sudah tidur. Zzzzz."

"Aku pilih yang pertama. Berusia 13 tahun, tampan, sehat, dan cerdas."

"Kamu tampan, sehat, dan cerdas. Oke. Sekarang tidurlah. Kalau Mami dengar, aku bakal kena marah."

"Nah, itu buktinya. Kamu juga sudah memilih. Dan Mami melihat apa yang kamu tunjukkan. Kamu itu bandel, nakal, pemberontak, enggak bisa diurus."

"Aku tidak memilih, tidak menunjukkan. Semua gara-gara kamu!"

"Bukan. Tapi gara-gara kamu lemah. Nyatanya, membantah Mami untuk bela diri saja kamu enggak bisa. Kamu cuma berani bicara denganku, bergantung sama aku. Ironis ya?"

"Diam!"

"Aku tahu, kamu puas setelah membakar buku catatan Mami, menghapus dokumennya dari harddisk. Dan lain sebagainya."

"Bukan aku."

"Apa bedanya? Kamu diam-diam suka semua yang aku lakukan atas namamu. Kalaupun aku mengaku, Mami enggak bakal percaya. Lihat, bergerak pun aku enggak mampu."

"Aaarghh .... Apa maumu sebetulnya?"

"Oh, aku cuma membayangkan, kalau kita berdua ini adonan roti. Jadikan satu, aduk sampai merata, lalu bikin sosok sempurna. Yang jelek-jelek, biarkan mati dan dikubur."

"Demi Tuhan, kamu mengoceh apa?"

"Aku takut mati, Garin. Enam bulan itu tidak lama. Aku ingin hidup, minimal sebagian diriku terus hidup. Otot-otot yang mengerut ini boleh mati. Tapi otak geniusku masih berfungsi. Imajinasi dan kreativitasku tidak terbatas. Berjanjilah, kamu akan membiarkan bagian itu hidup dalam dirimu. Sebagai gantinya, kamu bunuh bagianmu yang menjengkelkan. Oliva tidak suka cowok lembek dan pengecut. Mami juga enggak mau memandang kamu karena bikin dia depresi dan frustrasi. Enggak tahu kenapa. Tanyalah sama Mami sendiri. Dan aku, jujur saja, merasa kamu sudah mencuri takdirku sebagai anak sulung dengan tubuh sehat. Aku yang harusnya jadi kamu. Jadi kakak. Tapi aku enggak bisa membalik keadaan. Alih-alih, kita barter saja. Kamu hidup dengan membawa sebagian dari aku. Ingat, konsep diri dan nama bisa diubah."

"Kalau aku setuju dengan barter itu, kamu jadi tidak takut lagi? Dan berhenti membicarakan mati?"

"Hmm ... ya. Bisa diatur begitu."

"Baiklah. Setuju. Sekarang, tidur. Kamu harus ke rumah sakit pagi-pagi."

"Tes. Siapa namamu?"

"Astaga. Ini terakhir ya. Namaku Garin ... oke, Algis juga. Garin dan Algis."


-----------------

The Visual Art of Love (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang