"Papi jawab saja pertanyaanku."
"Justru itu. Pertanyaan satu itu susah dijawab, IgGy. Bagaimana Papi sampai meninggalkan kalian? Anggaplah Papi ini batu yang digelundungkan dari ketinggian dan berakhir di sini. Bukannya enggak mau, tapi enggak bisa kembali ke atas."
"Papi enggak mau berusaha!"
"Tuhan tahu usaha Papi. Tapi Papi mengerti kalau kamu menganggap Papi mudah menyerah. Mami kamu itu perempuan dengan hati batu. Sekali ia membenci, selamanya akan begitu. Dan dia enggak pernah lupa mengungkit ini salah siapa .... IgGy, sekarang kamu yang harus jawab jujur. Bagaimana perlakuan Mami sama kamu?"
"Eh? Maksud Papi?"
"Kamu tahu maksud Papi. Dibandingkan sikapnya pada adikmu."
"Tapi Algis ... eh, RaKa, kan sakit. Wajar kalau Mami lebih perhatian."
"Kamu percaya itu? Sudah pernah lihat album foto Papi waktu muda? Aah, enggak heran kalau semuanya sudah dia bakar. IgGy, mukamu mirip Papi. Kamu tumbuh seperti Papi. Mami kamu enggak bisa menghindar melihat Papi setiap harinya pada dirimu. Tuhan Mahaadil, ya?"
"Apa itu berarti aku akan seperti Papi sekarang? Tukang mabuk dan main perempuan?"
"Wow, jaga mulutmu, Nak! Itukah yang kamu dengar dari Mami? Papi cuma sekali selingkuh. Itu salah Papi. Sudah Papi akui dan minta maaf kepadanya. Papi janji enggak akan mengulang. Tapi seperti Papi bilang, hatinya sudah mati. Sejak awal, Papi sadar, dia tidak pernah mencintai siapa pun kecuali dirinya sendiri dan kariernya. Mami kamu membuat Papi kehilangan segalanya. Karier, keluarga, harga diri, respect dari anak-anak. Papi minum karena itu."
"You are pathetic!"
"And I am your Dad. Papi yang memberimu nama panjang yang bagus dan panggilan unik. Menggendongmu di punggung sampai kamu terlalu besar dan berat untuk digendong. Kamu masih ingat, kita sering main ke bukit cuma untuk melihat matahari terbenam dan menulis cerita? Berapa banyak kisah fantasi yang kita ciptakan bersama hanya di satu tempat itu?"
"Enam puluh sembilan. Beberapa sudah kukirimkan ke majalah dan dimuat. Sisanya terlalu absurd."
"Wow! Kamu berbakat, IgGy. Dalam dirimu mengalir darah penulis besar."
"Nama Papi sebagai penulis dan jurnalis sudah dilupakan orang."
"Tapi kamu akan bersinar menggantikan Papi."
"Mungkin, kalau Papi pulang dan membimbingku."
"Aah. IgGy. Kita enggak akan mengulang pembicaraan yang sama tiap kali kamu ke sini, kan? Kalau tidak ada hal lain yang mau kamu sampaikan, pulanglah. Kamu pasti mengarang-ngarang alasan buat ke sini. Tapi kamu enggak pintar berbohong, Nak. Mami kamu bakal curiga. Lagian, kasihan pacarmu itu, dari tadi gelisah menunggu."
"Oliva bukan pacarku. Dia ... sahabatku."
"Dia baik dan setia. Cantik pula. Kamu pintar memilih. Lebih pintar dari Papi."
"Papi! Ollie sahabatku."
"Haha. Mukamu memerah. Oke. Sahabat. Nah, pulanglah. Tidak baik anak-anak di bawah umur ada di bar malam-malam begini. Oh ya, kamu punya uang? Papi pinjam lagi ya? Buat ongkos taksi."
"Tabunganku habis. Yang dulu saja belum Papi bayar."
"Iya ... iya. Nanti kalau Papi sudah dapat gajian ya."
"Bagaimana gajian kalau Papi enggak kerja lagi sekarang? Kenapa Papi enggak mencoba menulis saja? Teman-teman Papi sesama jurnalis masih ada, kan?"
"Suh suh, pulang sana. Jangan mulai dengan topik itu kalau kamu tidak mau dengar keluhan Papi tentang jurnalisme sekarang."
"Baik. Jaga diri Papi. Jangan mabuk lagi."
"Ya. Ya. Papi bangga sama kamu, IgGy!"
-------------------------------
KAMU SEDANG MEMBACA
The Visual Art of Love (SUDAH TERBIT)
Romance#Dapatkan di mizanstore.com atau toko buku terkemuka# Penerbit Pastelbooks A heart to unbreak. A soul to rest in peace. Gemina Inesita: mahasiswi Desain Komunikasi Visual, calon ilustrator. Tugas kuliah seabreg, Tante Kost bertingkah, pemasukan pas...