15. To Read or Not To Read

2.1K 509 52
                                    

Gemina menunggu IgGy melanjutkan. Ia menduga bukan cuma rasa kehilangan yang membuat mata IgGy berkaca-kaca. Ekspresi terluka membayang saat IgGy menunduk untuk menghindari tatapannya. Ingin rasanya Gemina menjangkau tangan cowok itu di atas meja. Sekadar menyentuh untuk memberikan dukungan. Tapi akal sehatnya melarang. Jangan bermain api. Faktanya, waktu IgGy menggandengnya keluar dari kantor Radmila kemarin, efek panas genggaman itu masih terasa sampai sekarang. Aneh, tapi begitulah rasanya.

Karena IgGy masih diam dan tampak tidak nyaman, Gemina mengambil alih. "Runako Algis Kagendra. Namanya bagus," katanya ringan, sambil menulis di buku sketsa.

IgGy mengerjap. Senyumnya kembali. "Almarhum Papi yang memberinya nama. Juga namaku. Mami pencipta nama yang buruk. Semua diserahkan pada Papi."

"Oh, aku enggak tahu papimu sudah tiada. Maaf." Gemina tidak tahu bagaimana merespons selain itu. Ia tidak melihat foto keluarga di rumah ini. Entah siapa duluan yang wafat, jelas kepergian RaKa lebih mengguncang.

"Diambil dari tiga bahasa berbeda, setiap kata punya arti yang bagus. Runako, Swahili, tampan. Algis, Jerman Kuno, tombak. Kagendra, Sansekerta, raja burung." IgGy mengambil alih pensil dan buku sketsa Gemina, menuliskan arti nama yang disebutkan, beserta inisialnya. "Tapi Papi lebih memikirkan inisial yang bagus untuk panggilan ketimbang makna namanya secara utuh. RaKa. Juga untuk namaku, IgGy."

"Harusnya RAKa dan IgGY?"

IgGy tertawa. "Ya. Harusnya. Tapi panggilan dengan inisial sudah dimunculkan sejak aku baru belajar menulis, mencampuradukkan huruf kecil dan kapital. Aku cenderung menulis IgGy dan RaKa, Papi meresmikannya. Kemudian ada masa setelah Papi pergi – belum, belum meninggal waktu itu, hanya pergi – Mami mengembalikan panggilan jadi Ignazio dan Algis. Tapi aku tidak suka Ignazio. Lebih baik Garin."

"Apa arti namamu, Ignazio Garin Yudistra?" Gemina menaruh dagunya di meja. Larut dalam percakapan kecil yang menariknya lebih dekat pada sosok di depannya. Seperti mabuk candu, ia ingin mendengar lebih banyak lagi, mengamati ekspresinya, menikmati senyum dan tatapannya. Tuhan, tolong aku ....

"Ignazio, bahasa Italia, menyala, berapi-api." IgGy menggaruk dahinya, meringis. Rambutnya pun acak-acakan, luruh ke depan. Gemina terpana. "Garin, Jerman, penjaga. Yudistra, mungkin varian dari Yudistira, kukuh atau teguh."

"Penjaga yang teguh dan bersemangat. Bagus sekali." Gemina buru-buru mengambil lagi buku dan pensilnya, sebelum ia lupa bernapas lebih lama. Digambarnya Prabu Yudistira dengan tombak di tangan. Mirip IgGy karena ia tambahkan lesung pipit di pipi kanan kirinya. "Aku jadi ingat cerita si sulung Pandawa ini. Karakter yang lempeng, sedikit naif. Senjatanya tombak. Algis. Aku enggak heran kalau papimu terinspirasi tokoh ini waktu memberi nama kalian."

"Entahlah. Tapi kamu membuat aku merasa keren. Buatku, ya?"

Gemina terkikik. Membiarkan IgGy merobek gambar dan menyelipkannya pada buku yang ia baca tadi. Dibukanya halaman baru, mulai membuat sketsa lebih serius untuk karakter Algis. Kali ini dengan merujuk sketsa yang pernah dibuatnya berdasarkan foto RaKa usia 9 tahun.

Hanya terdengar gesekan pensil pada kertas. Napas halus mereka berdua. Dan sesekali sesapan kopi. Entah berapa lama waktu berlalu. IgGy sudah mengisi ulang mug mereka. Gemina bekerja seperti kerasukan. Tenaganya terbaharui setiap kali ia mendongak sebentar dan mendapati IgGy memandanginya. Ia merapatkan jaket karena tiba-tiba menggigil. Diletakkannya pensil, saat karakter Algis berusia 12 tahun menjelma sempurna. RaKa dalam balutan pakaian dunia fantasinya. "Selesai. Bagaimana menurutmu?"

IgGy mengangguk. "Aku suka. Kalau Radmila belum cocok juga dengan itu, berarti tidak ada ilustrator di dunia ini yang bisa memuaskannya."

"Oh. Aku jadi takut ...."

The Visual Art of Love (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang