"Ya, Radmila, the one and only," kata Juno, tertawa geli. "Seri Algis-nya fenomenal. Jarang-jarang novel anak lokal nge-hit begitu. Aku merancang sendiri sampul serial ini karena jatuh cinta pada konsepnya. Awalnya direncanakan untuk trilogi saja, tapi begitu dua seri menjadi bestseller, Radmila memperpanjang plot. Dalam tujuh tahun ini, cetak ulang berkali-kali. Jangan bandingkan dengan buku fantasi terjemahan dari Barat. Untuk buku anak lokal, bisa dibilang, Algis adalah seri pertama yang bisa bertahan selama ini dengan fanbase fanatik yang terus bertambah. Kalau lihat fan-art yang kamu buat, aku tahu, kamu salah satunya."
Gemina meringis. Rasanya masih tidak percaya, Radmila meminta nomor kontaknya pada Juno. "Terima kasih sudah merekomendasikan aku, Kak."
Juno mengangkat alis. "Eh? Kamu memang kompeten. Tapi bukan aku yang merekomendasikan kamu pada Radmila. Aku malah baru tahu akan ada versi Algis dengan ilustrasi."
"Kalau bukan dari Kak Juno, Radmila tahu namaku dari siapa, ya?" Gemina garuk-garuk pelipis. Kecil kemungkinan Radmila ingat namanya waktu diminta IgGy menulis pesan di buku untuknya. Tidak dikenal secara pribadi, paling namanya tak lebih menonjol dari semua fans yang berbaris saat penandatangan buku. Ah ya, ketujuh buku itu belum diambilnya pula dari Mbak Zara.
"Tidak penting dari mana Radmila tahu. Pokoknya dia sudah pegang nomor kontakmu."
Gemina mengangguk. Ia pun menikmati siang itu bersama Juno dan istrinya, tanpa beban urusan klien dengan keanehan mereka. Percakapan hangat di meja makan bahkan keluar dari topik seni. Gemina senang memancing "kakak iparnya" bercerita seputar kehamilan dan proses persalinan. Maya membuatnya banyak tertawa sampai waktunya pulang. Ia sudah mendapatkan cukup penyegaran untuk menghadapi kesibukan di hari-hari selanjutnya.
Di angkot, Gemina baru memegang lagi ponselnya. Sengaja ia bisukan selama bertamu di studio dan di rumah Juno. Ternyata banyak miss call dan SMS dalam satu jam terakhir. IgGy dan Mbak Zara seperti berlomba menghubunginya. Cuma ada satu kemungkinan, IgGy mengganggu Mbak Zara di toko buku setelah gagal menghubunginya langsung. Gemina heran sendiri, ia bisa begitu tenang menyimpulkan. Seolah telepon dari IgGy bukan hal besar. Mengingat semalam ia gelisah dan menangis gara-gara cowok itu, tentu saja ini merupakan kemajuan. Bukti bahwa ia telah kembali menjadi dirinya sendiri, Gemina yang berkepala dingin, yang memandang permasalahan berdasarkan fakta, sesuai skalanya. Tidak memperkecil atau memperbesarnya dengan emosi.
Jarinya menggeser daftar notifikasi. Tidak ada panggilan dari nomor asing. Syukurlah, berarti Radmila tidak menghubunginya. Untuk sebuah komisi besar dan serius, prosesnya pasti tidak instan. Kalaupun ditindaklanjuti, Gemina berharap, Radmila menelepon nanti saja, setelah semua proyek akhir semester beres.
Ia membuka pesan-pesan Mbak Zara lebih dulu. Setelah dua kali misscall, Mbak Zara mengirim beberapa pesan yang intinya:
Gemi, kamu di mana? IgGy bolak-balik nanyain kamu. Aku jadi enggak tenang bekerja. Tolong.
Gemina menyeringai. Tepat dugaannya. Ia kemudian membuka notifikasi dari IgGy.
10. 30 – Hai, Gemi. Aku terima pesanmu semalam. Lebih baik kujawab langsung. Bisakah ketemu?
10.45 – misscall
11. 05 – Gemi, kamu libur kan, hari ini? Sedang di mana? Apakah kamu ke toko buku?
11. 19 – Gemi, teleponku enggak diangkat. Pesanku enggak kamu jawab. Kamu baik-baik saja?
12.27 – misscall
KAMU SEDANG MEMBACA
The Visual Art of Love (SUDAH TERBIT)
Romance#Dapatkan di mizanstore.com atau toko buku terkemuka# Penerbit Pastelbooks A heart to unbreak. A soul to rest in peace. Gemina Inesita: mahasiswi Desain Komunikasi Visual, calon ilustrator. Tugas kuliah seabreg, Tante Kost bertingkah, pemasukan pas...