Semoga dia lebih telat. Semoga dia lebih telat. Gemina lari terpontang-panting. Sudah telat bangun, air di kamar mandinya tidak mengalir pula, jadi harus antre di kamar mandi umum. Lalu terjebak macet, sekarang, lift pun terlalu pelan membawanya ke lantai tiga. Ia masuk ke kafe, mengedarkan pandangan. Meja-meja kosong. Ia nyaris bersorak tapi matanya menangkap sosok IgGy di dekat jendela.
Gemina mengembuskan napas dan mendekat. "Hai, IgGy—"
Pemuda itu mengangkat tangan kiri tanpa berhenti menulis. Merasa bersalah, Gemina pun berdiri diam. Di meja, dua cangkir kopi tinggal ampas. Oke. IgGy sudah menunggu lama. Sekarang tidak ingin diganggu. Mungkin perlu konsentrasi untuk menangkap ide. Semenit, dua menit, Gemina mulai jengkel. "Garin ...."
IgGy mengangkat wajah. "Oh, hai, Gemi. Apa kabar? Silakan duduk."
Tadi tak acuh kayak bos killer, sekarang menyapa seperti baru melihatnya. Maksudnya apa? Dan tiba-tiba saja senyum pemuda itu mengembang, dekik di pipinya begitu dalam. Gemina terkesima. Lalu tersadar. Buru-buru duduk di depan IgGy. "IgGy, maaf, aku terlambat."
"Satu jam." IgGy menukas ketus. "Untung klienmu sabar."
"Eh?" Kening Gemina berkerut. "Artist-mu ini sebelumnya super sabar menunggu klien yang terlambat memenuhi janji sampai tiga minggu."
"Itu karena aku menunggu penulisnya pulang dari luar negeri dulu agar bisa menambahkan pesan khusus buatmu. Tidak sekadar tanda tangan." IgGy menjawab dingin.
"Oh ... wah!" Kekesalan Gemina menguap begitu saja. "Kamu kenal dekat Radmila? Dia seperti apa? Aku pengin ketemu. Tapi tanda tangan dan pesannya juga belum kulihat. Bukunya masih di Mbak Zara. Terima kasih, Garin."
Sambil menelengkan kepala, IgGy tersenyum. "Bukan masalah. Oh ya, mau makan? Minum?"
"Black coffee saja. Terima kasih."
IgGy bersiul pelan. "Aku juga."
Gemina mengamati cowok itu berbicara dengan pelayan. Mendadak sadar sikap IgGy berubah-ubah seolah mewakili dua kepribadian, IgGy dan Garin. Lewat chat semalam, kesannya bercanda. Tapi berhadapan langsung begini, perubahan itu begitu nyata. Itukah sebabnya ia harus konsisten menggunakan salah satu nama saja? Lalu, kepribadian aslinya yang mana?
"Ada yang ingin kamu tanyakan." IgGy sedang menatapnya lekat.
Gemina mengerjap. Kata-kata meluncur begitu saja. "Ya. Ignazio Garin Yudistra, apa kamu serius punya kepribadian ganda? Maksudku, kepribadian ganda yang resmi menurut psikolog gitu."
IgGy meletakkan lengannya terlipat di meja. Mencondongkan badan ke depan dan berbisik, "Gemina Inesita, kamu serius tanya apa aku punya sertifikat masalah mental?"
Ups. Mati aku. Gemina merutuk dalam hati. Implikasi itu tidak terpikirkan olehnya. Sambil berusaha tetap tenang, Gemina meletakkan tangan juga di meja, lalu mendekatkan kepala, balas berbisik, "Ya. Karena aku harus yakin, kesepakatan komisi yang kita buat sekarang diketahui dan disetujui oleh semua kepribadian kamu."
Mata IgGy melebar. Mungkin jawabannya di luar dugaan. Karena jelas cowok itu terenyak di kursi. Mengejutkan pelayan yang membawa kopi.
Gemina mendesah. Kalaupun IgGy membatalkan komisi gara-gara itu, ya sudahlah. Ia meraih kopinya, mencari kehangatan. AC disetel terlalu rendah .... Ah, akui saja Gemi, kamu terintimidasi. Ia menghela napas lagi. "Thanks for the coffee, Garin. Atau siapa pun kamu saat ini."
Bibir IgGy berkedut seperti menahan tawa. Berhasil. Wajahnya kaku ketika berkata, "Imajinasimu liar, Gemi. Sejak semalam, aku hanya mengikuti permainanmu. Ya ampun, kamu benar-benar percaya."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Visual Art of Love (SUDAH TERBIT)
Romance#Dapatkan di mizanstore.com atau toko buku terkemuka# Penerbit Pastelbooks A heart to unbreak. A soul to rest in peace. Gemina Inesita: mahasiswi Desain Komunikasi Visual, calon ilustrator. Tugas kuliah seabreg, Tante Kost bertingkah, pemasukan pas...