Viny mengerjapkan matanya, membiasakan pandangannya pada sekeliling ruangan serba putih dengan bau khas obat-obatan. Lagi-lagi ia harus terbangun di ruangan seperti ini. Saat Viny menoleh ke arah kanan, matanya menangkap sosok seseorang sedang duduk di kursi roda dengan pandangan terus menatap ke arahnya.
Viny bangkit dari tidurnya, ia melepas kabel oksigen nasal kanul di hidungnya lalu turun dari bangsal dan berjalan menghampiri seseorang yang duduk di kursi roda itu. Viny berdiri dihadapannya.
Sosok itu tersenyum ke arah Viny, pandangannya masih tak lepas dari Viny."Hai dek...,"sapanya pada Viny.
Detik berikutnya Viny langsung berhambur ke pelukannya. Sosok yang selama ini ia rindukan, sosok yang membuatnya cemas akut, sosok yang ia yakini akan kembali kini berada dihadapannya, dipelukannya.
Tangis Viny pecah. Sosok yang tak lain adalah Shania, kakak Viny. Kakak yang sangat Viny rindukan.
Ketika semua orang sudah berputus asa dengan keadaan Shania, saat itulah Tuhan menunjukkan kuasanya. Shania sadar dari tidur panjangnya, meski keadaannya masih jauh dari kata baik, tapi setidaknya ia sudah membuat hati orang-orang yang selama ini mencemaskannya lega.
Shania ikut menitikkan air matanya. Saat ia sadar, semua orang menyambutnya dengan air mata. Mama, Papa, Kakak dan sekarang Adiknya juga menangis saat bertemu dengannya. 'Apa aku benar-benar sudah membuat mereka khawatir.'batin Shania.
Viny melepas pelukannya dari tubuh Shania. Ia menatap sang kakak yang juga menatapnya. Senyum itu tak pernah luntur dari wajah Shania.
"Kakak merindukanmu Viny."ucap Shania.Tangan Shania terangkat menghapus air mata Viny. Viny memejamkan matanya merasakan usapan lembut tangan Shania.
"Jangan nangis, kakak gak bisa liat kamu nangis."ucap Shania pada Viny.
Viny membuka matanya. Tangan Viny terangkat mengenggam tangan sang kakak yang berada di pipinya.
"Jangan pergi lagi kak, Viny gak bisa tanpa Kakak."ucap Viny lirih.~
Shania dan Viny tengah duduk di bangku taman rumah sakit. Keduanya sama-sama mengenakan pakaian pasien rumah sakit. Sedari tadi mereka masih diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Gimana keadaan kamu?"tanya Shania memecah keheningan.
Viny menoleh ke arah Shania yang duduk di sebelahnya.
"Viny baik kak."jawab Viny lalu kembali menatap ke depan."Waktu kakak bangun, malah gantian kamu yang tidur."lanjut Shania.
Saat Shania bangun dari komanya, malah Viny yang kondisinya menurun. Dua hari Viny tak sadarkan diri di rumah sakit. Membuat rasa cemas saat itu berpindah ke hati Shania. Ia mencemaskan keadaan adiknya.
"Kakak juga tidur lama banget, hampir setengah tahun."
Shania hanya tersenyum mendengar ucapan Viny."Kamu makin kurus sekarang."
"Aku kayak gini karna mikirin kakak."
"Kenapa?"tanya Shania.
Viny menghela nafas berat lalu menatap Shania.
"Gak cuma aku. Mama, Papa, dan Kak Ve juga. Tiap malem Mama selalu nangis, dan Kak Ve yang gak pernah sakit kemarin dia sempet jatuh sakit."Penjelasan Viny membuat Shania merasa bersalah. Ia sudah membuat keluarganya begitu mengkhawatirkannya.
"Dan bikin jantung kamu kambuh?"tanya Shania.
Viny terdiam.
"Maafin kakak karna udah bikin semuanya khawatir."ucap Shania lirih.Viny menggenggam tangan Shania.
"Kakak gak perlu minta maaf, kakak gak salah. Viny cuma pengen kakak tau kalo kita semua sayang sama kakak. Kita seneng banget karna akhirnya Tuhan mengabulkan doa kita untuk kesembuhan kakak."
KAMU SEDANG MEMBACA
KARNA KITA SAUDARA
FanfictionTentang lika-liku kehidupan sebuah keluarga. Tentang berartinya keberadaan seseorang. Dan tentang sakitnya arti kehilangan., . . . . .