Part 22

2.2K 128 58
                                    

Waktu berlalu begitu cepat. Meninggalkan kenangan manis dan pahit yang selalu beriringan. Luka yang masih membekas, kebahagiaan yang dirasa selalu jauh dari angannya. Takdir yang menurutnya sulit untuk ia jalani, seakan tidak mengijinkan untuknya sedikit merasakan kebahagiaan yang dulu dapat dengan mudah ia dapatkan. Jika boleh memilih, ia ingin tetap berada pada masa itu. Masa dimana ia hanya mengenal hal yang bisa membuatnya tertawa. Tanpa harus tau apa itu luka dan rasa sakit.

Seorang gadis menatap keluar jendela kamarnya. Hujan yang tak kunjung reda seperti mengerti keadaan hatinya saat ini.

Sudah bulan kelima setelah kejadian itu. Kejadian yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Kejadian yang membuat jantungnya seolah berhenti berdetak. Saat seseorang yang berharga dalam hidupnya berada antara hidup dan mati.

Di sebuah ruangan dengan seorang gadis yang terbaring di bangsal. Berbagai alat medis masih setia menempel di tubuhnya. Seorang Dokter sedang berusaha menyelamatkan nyawa pasiennya. Saat alat pendeteksi jantung itu berbunyi nyaring. Membuat Dokter dan beberapa perawatnya tegang, takut kehilangan nyawa pasiennya. Namun mereka tetap berusaha tenang dan melakukan tugas masing-masing.

"Naikan lagi!"perintah Dokter pada perawat. Dokter lalu menempelkan kembali alat kejut jantung tepat di dada Shania.

Terlihat peluh menetes di pelipis sang Dokter. Apapun yang terjadi dia akan tetap berjuang untuk menyelamatkan pasiennya.

Di luar ruangan Viny bisa melihat bagaimana Kakaknya berjuang dengan Dokter dan beberapa perawat. Air mata sedari tadi sudah membasahi pipinya. Melihat pemandangan menyedihkan dari sang Kakak.

"Aku mohon bertahanlah kak."ucap Viny lirih di tengah-tengah tangisnya. Ia benar-benar tidak siap jika harus kehilangan Kakaknya. Farish mendekati Viny lalu membawa Viny ke dalam dekapannya. Berusaha menguatkan anak bungsunya.

Pintu ruangan terbuka, Dokter keluar dengan ekspresi yang sulit di artikan. Mereka yang sedari tadi menunggu langsung mendekat ke arah Dokter. Dokter menatap satu persatu mereka yang di sana, kemudian menggelengkan kepalanya perlahan. Membuat tangisan semuanya pecah, membuat jantung Viny kembali kambuh hingga ia harus menggunakan alat-alat medis lagi ditubuhnya. Sedangkan Melody, ia tak sadarkan diri dalam pelukan Frieska.

Helaan nafas berat keluar dari mulut Viny.
Ia masih betah menatap pemandangan di luar jendela. Hingga ketukan pintu kamarnya menyadarkan ia dari lamunan. Viny berjalan ke arah pintu lalu membukanya. Terlihat sang Kakak pertama sudah siap.

"Berangkat sekarang ya.,"ucap Veranda pada Viny. Viny hanya mengangguk menjawab ucapan Kakaknya.

Sepanjang perjalanan hanya keheningan yang menyelimuti keduanya. Viny lebih memilih menatap jalanan. Bukan, lebih tepatnya ia menatap jalanan dengan pikiran yang entah kemana.

Veranda sedikit melirik ke arah adiknya yang sedari tadi diam, sama seperti hari-hari sebelumnya. Veranda hanya menatap sendu wajah Viny. Ia bahkan dua kali lebih hancur karna melihat keadaan kedua adiknya. Melihat Viny yang hanya diam, bahkan sekarang kondisinya menurun. Veranda sudah tidak tau lagi bagaimana membujuk Viny.

Veranda menepikan mobilnya didekat sebuah taman. Hujan yang tadinya deras berubah menjadi gerimis kecil.

Viny menoleh ke arah sang Kakak. Seolah bertanya 'kenapa berhenti disini'.

"Mau sampe kapan kayak gini terus?"ucap Veranda tanpa menoleh ke arah Viny. Tangannya ia letakkan di atas stir mobil.
Viny bingung dengan ucapan Kakaknya.

"Jujur, Kakak gak bisa lihat kalian kayak gini."
Veranda menjeda ucapannya.
"Kakak tau disini kita semua sama-sama terluka karna seseorang yang berharga untuk kita. Tapi apa kamu tau semua yang kamu lakukan sekarang gak akan merubah keadaan."

KARNA KITA SAUDARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang