Sudah 1 bulan lebih, sejak Shania kembali rutin terapi untuk kesembuhan kakinya. Shania mempunyai keinginan yang besar untuk bisa berjalan normal kembali. Sikap Shania kepada keluarganya pun mulai membaik. Tidak ada lagi Shania yang cuek dan dingin. Shania menyesal dengan semua sikapnya. Ia berpikir bahwa ia mampu menghadapi sendiri, padahal kenyataannya ia butuh keluarganya. Shania bersyukur, kedua orang tua dan saudara-saudaranya begitu setia menemaninya. Membersamai perjuangannya untuk dapat berpijak normal seperti sedia kala.
Kondisi kaki Shania sekarang sudah banyak kemajuan. Bahkan sekarang ia tak perlu lagi memakai kursi roda. Tapi masih harus menggunakan tongkat untuk membantunya berjalan.
Shania duduk di salah satu bangku dekat lapangan sekolah. Ia tersenyum menatap siswa-siswi yang sedang bermain basket di lapangan outdor sekolah. Sesekali ia berteriak menyemangati adiknya yang juga ikut bermain basket. Meskipun hanya permainan biasa, akan tetapi cukup menghibur siswa-siswi lainnya.
Shania melihat Viny berlari ke arahnya. Viny berlari dengan nafas terengah-engah, membuat sang kakak sedikit cemas. Shania jelas tau kelemahan adiknya.
Viny duduk di sebelah Shania.
"Minum dulu dek." Shania menyodorkan air mineral kepada Viny.
Viny meraih air mineral itu lalu meminumnya perlahan.Sesekali Viny berusaha menetralkan nafasnya.
"Lain kali jangan main terlalu lama, jadi sesek kan." ucap Shania.Viny menatap sang Kakak lalu tersenyum. Rasanya sudah lama ia tak mendengar omelan sang Kakak.
Shania mengernyitkan dahinya melihat ada yang salah dengan Viny.
"Kenapa malah senyum-senyum?" tanya Shania heran.Viny tidak menjawab, ia hanya menggelengkan kepalanya.
"Masih sesek gak? Dada kamu sakit lagi? Atau Kakak anter kamu ke rumah sakit ya." ucap Shania kembali. Ia terlihat begitu khawatir pada Viny, membuat Viny semakin melebarkan senyumnya.
"Kakak khawatir ya sama aku?" bukannya menjawab, Viny malah balik bertanya.
'Pertanyaan macam apa itu' batin Shania.
"Kamu ni ngomong apa sih, jelas Kakak khawatir sama kamu."
Viny menatap sang Kakak, masih dengan senyum manisnya.
"Aku gapapa kok Kak, aku baik-baik aja. Aku seneng karna sekarang Kakak udah perhatian lagi sama aku." ucap Viny.
Shania terdiam mendengar ucapan sang Adik. Ia jadi teringat bagaimana sikapnya terhadap Viny waktu lalu, Shania yang kembali mengabaikan Viny."Kakak tau? Kemarin itu kita berasa balik musuhan lagi. Tapi bedanya Kakak lebih banyak diem, dan aku yang lebih banyak ngajak kakak ngomong. Tapi kakak gak pernah res. . . "
"Kakak minta maaf." potong Shania.
"Kakak sadar, gak seharusnya Kakak kaya gitu. Harusnya Kakak bisa nerima keadaan. Bukan malah sok kuat dan merasa gak butuh kalian. Maafin Kakak, Kakak terlalu labil buat hadapi semuanya."
Jelas penyesalan terlihat di wajah Shania. Seharusnya ia bisa berpikir lebih dewasa. Seharusnya ia bisa menoleh kepada Viny. Viny yang begitu tegar meski dalam dirinya menyimpan kesakitan yang sewaktu-waktu bisa membahayakan nyawanya.
Shania menunduk, terlihat bulir bening mengalir di pipinya.
"Kakak sayang sama kamu, Kakak sayang kalian. Kakak minta maaf karna udah kecewain kalian."Viny langsung mendekap tubuh Shania. Membawa sang Kakak ke dalam pelukannya.
"Aku lebih sayang Kakak. Jangan kaya gitu lagi. Aku gak mau kehilangan Kakak lagi." ucap Viny dengan suara bergetar.
......
Seorang gadis terlihat duduk di salah satu bangku kantin. Ia sedang menunggu seseorang yang mengajaknya bertemu di kantin setelah mata kuliah selesai. Ia menunggu sambil mengotak-atik ponsel di tangannya. Mencari hiburan di tengah bosan karna terlalu lama menunggu.

KAMU SEDANG MEMBACA
KARNA KITA SAUDARA
FanfictionTentang lika-liku kehidupan sebuah keluarga. Tentang berartinya keberadaan seseorang. Dan tentang sakitnya arti kehilangan., . . . . .