Part 40

1.7K 130 30
                                    

Terlihat seorang gadis terbaring lemah di atas bangsal. Ruangan serba putih dengan bau khas obat-obatan. Beberapa alat medis menempel di tubuh gadis itu. Gadis yang tak lain adalah Viny. Sudah 3 hari sejak kejadian yang membuat jantungnya kembali kambuh, Viny belum sama sekali membuka matanya. Kondisinya sempat menurun hingga membuat tim medis panik, takut kehilangan pasiennya. Shania dan keluarganya tidak henti-hentinya berdoa, berharap agar Viny baik-baik saja dan bisa kembali sadar.

Pintu ruang rawat terbuka. Terlihat Shania perlahan masuk. Ia berdiri di belakang pintu, menatap seorang gadis yang masih setia dalam tidurnya. Hanya terdengar bunyi alat pendeteksi jantung. Melihat adik yang begitu ia sayangi terbaring lemah tak berdaya dengan banyak alat medis menempel di tubuhnya. Air mata Shania jatuh. Kakinya begitu berat untuk melangkah mendekati bangsal tempat adiknya terbaring lemah.

"Kak, kalo nanti aku.,"

"Dek, jangan bicara apapun. Kamu pasti sembuh."

"Kakak pasti tau penyakit aku gimana. Sewaktu-waktu jantung ini berhenti berdetak Kak. Gak tau kenapa aku ngerasa takut. Bukan aku takut mati. Aku.., aku takut jauh dari kalian."

Shania kembali teringat pembicaraannya dengan Viny beberapa hari yang lalu. Saat Viny berterus terang padanya bahwa ia merasa takut.

'Kakak jauh lebih takut kehilangan kamu Viny.' batin Shania. Ia semakin tak kuasa menahan air matanya. Sakit sudah pasti, jika bisa ia mau menggantikan posisi Viny. Biar dia yang menanggung semua kesakitan Viny.

Perlahan Shania berjalan mendekati bangsal Viny. Ia menatap lekat wajah adiknya yang begitu pucat dengan masker oksigen masih setia menutupi hidung dan mulut Viny. Tangan Shania terangkat mengusap lembut wajah Viny.

"Kamu gak pengen bangun?" ucap Shania lirih.

"Apa kamu gak pengen liat Kakak?"
Shania berbicara dengan air mata yang terus mengalir dari pelupuk matanya. Ia berusaha untuk tersenyum di depan Viny.

"Dari kemarin Kakak nunggu kamu bangun. Apa kamu marah sama Kakak?" Shania terus menatap wajah Viny.

"Maafin Kakak ya gak bisa jaga kamu."
Seandainya saat itu ia lebih cepat bertindak, mungkin Viny tidak akan sampai berada di ruangan ini. Shania jelas menyesal karna lengah dalam menjaga Viny.

Tidak ada jawaban sedari tadi Shania berbicara. Hanya bunyi alat pendeteksi jantung yang terdengar.

"Kakak kangen sama kamu dek. Kakak mohon bangun." ucap Shania terdengar memilukan.

"Kamu bilang kamu takut jauh dari kita. Sekarang kenapa malah kamu yang gak mau bangun dan liat kita. Kakak nunggu kamu dek, kita semua nunggu kamu."
Shania menundukkan kepalanya, ia menangis sesegukan di tepi bangsal Viny. Tanpa Shania sadari, air mata jatuh dari sudut mata Viny.

......

Shania keluar dari kamar mandi rumah sakit. Ia berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Matanya terlihat sembab karna terlalu lama menangis. Saat sampai di lobby ia bertemu dengan sang Mama.

"Shan, mau kemana?" tanya Melody yang sudah berada di hadapan putrinya.

"Aku mau keluar sebentar Ma." jawab Shania.

Melody berfikir sejenak, tidak biasanya Shania keluar saat Viny sedang sakit. Karna biasanya Shania akan lebih memilih menemani Viny.

"Ya sudah, Mama juga sudah di sini. Biar Mama yang jaga Viny."

Shania mengangguk.
"Kalo ada apa-apa sama Viny kabari aku ya Ma." ucap Shania. Setelah itu ia pamit untuk pergi. Melody menatap punggung Shania. Ia tidak tega melihat Shania seperti tidak bersemangat tiga hari ini. Melody tau apa yang di pikirkan Shania, kondisi Viny yang belum menunjukkan kemajuan, bahkan malah menurun. Setelah punggung Shania tak terlihat, Melody melanjutkan langkahnya menuju ruangan tempat putri bungsunya dirawat.

KARNA KITA SAUDARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang