Tersenyum Sambil Menangis

4.7K 377 60
                                    

Pagi hari merupakan rutinitas rutin untuk Vino menikmati udara sejuk di taman kota, biasanya ia selalu didampingi oleh Dena, anak dari asisten rumah tangga di rumah Kakeknya. Dena bagaikan sahabat baginya, selama ini Vino hanya berinteraksi dengan orang-orang terdekat saja. Jika ada orang asing maka Dena seperti mata untuknya.

"Mas Vino haus?" tanya Dena

Vino menggelengkan kepalanya.

"Tidak, aku rasanya ingin ice cream Den"

"Oh, tunggu disini. saya belikan ice cream untuk mas Vino tapi satu saja ya Mas, kalau Mas Vino sakit perut saya pasti dimarahi Kakek"

Vino tersenyum dan mengangguk.

Dena berjalan menuju penjual ice cream, belum sempat Dena sampai ke tempat si penjual ice cream, seseorang sudah menyodorkan sebuah ice cream didepannya.

"Loh Mas Cio" sahut Dena yang sedikit kaget karena bertemu dengan Cio disini.

"Ini untuk mu dan untuk Kakak ku biar aku yang memberikannya" ucap Cio.

Dena hanya mengangguk lalu mengikuti Cio untuk menghampiri Vino.

Vino masih fokus menatap kosong kedepan, sesekali ia terlihat tersenyum walaupun pandangannya saat ini hanya ada kegelapan. Dengan hati-hati Cio menempelkan sedikit ice cream itu di punggung tangan kakaknya lalu menoleh kearah Dena.

"Ini ice creamnya Mas Vino" ucap Dena

"Oh iya, terimakasih ya" Vino mengambil ice cream yang yang ada di tangan Cio karena ia mengira iyu Dena yang memberikannya.

Cio duduk diantara Vino dan Dena, ia tersenyum memperhatikan Vino yang tengah menikmati ice cream pemberiannya.

"Dena, aku ingin bertanya padamu"

Dena yang juga tengah menikmati ice cream langsung menoleh kearah Vino.
"Mas Vino mau bertanya apa?"

"Apa kamu memiliki seorang kekasih?"

Dena menganggukan kepalanya walaupun ia tau kalau Vino tidak mungkin melihatnya.

"Iya, tapi dia tinggal di Bandung, kami sudah 6 bulan menjalin hubungan"

"ah, kamu pasti sangat merindukannya, sepertiku. Aku sedang merindukan seseorang yang aku cintai"

Cio langsung menunduk, ia menatap lurus kearah sepatunya, ia tau siapa yang dirindukan Vino dan sungguh Cio tak ingin mendengarnya.

"Namanya Shani Indira, kamu tau? Bahkan nama secantik itu belum seberapa dibandingkan dengan kecantikan parasnya. Dia sangat cantik dan anggun, dan mungkin dia sekarang sudah bahagia bersama anakku, aku ini adalah seorang ayah, tapi aku adalah Ayah yang pengecut"

Cio tersenyum miris, ia menggelengkan kepalanya.

"Kita adalah ayah dari anak yang dikandung oleh wanita yang sama, benar-benar sulit" Cio bergumam dalam hatinya.

"Seandainya dulu aku tidak ceroboh, mengemudi dalam keadaan mabuk hingga aku harus merenggut nyawa satu keluarga dan mirisnya lagi mereka adalah orang-orang yang aku sayangi" Rahang Vino mengeras, ia marah pada dirinya sendiri. Sejauh apapun waktu yang telah berlalu rasanya penyesalan itu selalu mengikuti kemanapun ia melangkah.

Vino termenung, bahkan ice cream yang ia genggam mulai mencair.

"Aku ini seorang pembunuh, mereka meninggal karena kesalahanku. mereka adalah orang tua dari sahabatku sendiri, mirisnya lagi aku membuat sahabatku kehilangan orang tuanya disaat dirinya terpuruk karena penyakit yang telah merenggut pengelihatannya. Dan sekarang aku menghukum diriku sendiri, aku dapat merasakan hidup dengan pandangan yang gelap sama seperti dia bahkan aku memilih menjauhi keluargaku agar aku dapat merasakan apa yang dia rasakan saat dia hidup tanpa kehadiran keluarganya"

Cinta TerbaikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang