Cio baru saja selesai bermain futsal bersama kawan-kawannya, ada beberapa dari mereka yang sudah pulang, ada juga yang masih diam untuk sekedar beristirahat atau berbincang-bincang. seperti Cio yang masih belum beranjak dari tempat ia duduk, ia terlihat melamun sambil mengamati cincin yang melingkar di jari manisnya.
"Kenapa lo?" tanya Mario.
Cio hanya menggelengkan kepalanya.
"Berantem sama Ci Shani?" kini Okta yang bertanya.
"Engga, gue cuma ngerasa ga berguna aja jadi suami, Ci Shani lagi hamil dan dia juga yang harus kerja, bahkan dia bilang kalau dia yang akan biayai kuliah gue, gue malu sama keluarganya"
"Ya lo coba cari kerja lah Yo, kerja paruh waktu aja, jadi ga akan ganggu waktu kuliah lo" ucap Okta
"Bener tuh kata Okta, nanti gue sama Okta bantu deh supaya lo bisa cepet dapet kerja" ucap Mario. Cio terdiam memikirkan usulan kedua sahabatnya itu.
***
"Suami mu mana Shan?" Tanya Indra Ayah Shani.
"Futsal Pah"
"Udah punya istri masih sempat main futsal, kadang Papa ga habis fikir sama kamu, kamu ko bisa hamil anak bocah ingusan itu, udah bagus dulu kamu pacaran sama Vino, dia lebih dewasa dan mapan"
"Tapi kenyataannya Cio lebih dewasa dari Vino" ucap Shani dalam hati.
"Udahlah Pah, Cio anak yang baik ko" kini Anita ibu Shani ikut berbicara karena ia paham betul dengan perasaan putrinya itu.
"Kalau dia baik, ga mungkin dia hamilin Shani Ma"
"Tapi buktinya dia bertanggung jawab kan? Dia itu seorang mahasiswa dan untuk lelaki seumuran dia mungkin mereka akan kabur dan mencampakkan perempuannya"
"Asalamu'alaikum"
Semuanya menoleh kearah Cio yang baru datang, ia masih mengenakan baju futsalnya. Anita langsung melirik ke arah Shani untuk memberi kode agar Shani segera membawa Cio pergi dari hadapan Ayahnya. Shani hanya mengangguk kecil pada Anita lalu berjalan menghampiri Cio.
"Ayo, aku siapin air hangat untuk kamu mandi" Shani menarik halus lengan Cio.
"Eeh tunggu, aku belum salam sama Papa mama"
"Udah nanti aja" Shani terus saja menarik tangan Cio menuju kamar mereka. Setelah sampai di kamar Cio, Shani langsung menyiapkan segalanya untuk suaminya itu, sementara Cio masih sibuk dengan pikirannya yang terus saja memikirkan tentang pembicaraannya dengan Mario dan Okta.
"Yo, air hangat nya udah siap tuh, nih handuknya" ucap Shani sambil memberikan handuk pada Cio.
"Ng.. Ci aku mau ngomong" ucap Cio
"Ngomong aja"
"Aku mau kerja paruh waktu Ci, kan lumayan aku bisa bantu keuangan kita" Shani langsung terdiam, bahkan ia kini tengah menatap Cio dengan ekspresi datarnya.
"Aku ga setuju, udah.. sana mandi" Shani berjalan kearah lemari untuk menyiapkan pakaian untuk Cio.
"Tapi Ci, udah tugas suami kan untuk cari nafkah, bukan tugas istri"
"Aku kan udah pernah bilang ini untuk sementara, sampai kamu selesai kuliah, apalagi kamu sekarang harus fokus nyusun skripsi, aku ga mau kuliah kamu jadi terganggu Cio"
"Aku cuman mau menjalankan kewajiban aku sebagai suami Ci"
"Terus kamu pikir kuliah bukan kewajiban kamu? gitu?" Shani menatap tajam kearah Cio.
"Ga gitu.."
"Terus apa? kamu mau buat aku semakin bersalah dengan menghancurkan masa depan kamu? Aku minta kamu nikahin aku untuk anak yang sedang aku kandung, aku ga mau semakin membebani kamu"
"Ci aku sama sekali ga ngerasa terbebani"
"Aku bilang engga tetep engga!!!"
Cio langsung terdiam saat Shani membentaknya, jika sudah seperti ini sulit untuknya melawan Shani, terlebih lagi kondisi Shani yang sedang hamil yang membuat Cio lebih memilih untuk mengalah.
"Ya udah, aku mandi" Ucap Cio dengan nada lemas. sementara Shani tak berkata sepatah kata pun.
***
Setelah selesai mandi, Cio tak mendapati Shani disana, ia berjalan ke arah balkon dan benar saja Shani tengah terdiam disana. Cio menarik nafas dalam sebelum ia mengampiri istrinya itu.
"Ci, masuk.. disini dingin" ucap Cio namun tak di hiraukan sedikitpun oleh Shani.
"Kamu masih marah sama aku?" tanya Cio sambil menatap lekat manik mata Shani namun Shani langsung memalingkan wajahnya kearah lain.
"Ci, aku bisa ko kerja sambil..."
"Masih mau bahas ini? setelah kamu liat aku marah kamu masih mau bahas ini?"
Cio menghela nafas kasar, ia menyadari kondisi Shani yang sedang hamil dan mungkin itu menjadi penyebab utama emosi Shani jadi tak stabil.
"Ya udah iya.. aku ga akan bahas ini sekarang"
"Bukan hanya sekarang, tapi seterusnya! sampai kuliahmu selesai!"
"Iya..iya.. aku ga akan bahas ini lagi sampai kuliah aku selesai"
"Hmm"
"Udah kan, yuk ah kita bobo" Cio menarik lembut tangan Shani, tapi Shani menahan kakinya untuk melangkah.
"Kenapa lagi?"
Shani menunduk sambil menggigit bibir bawahnya, jemarinya menarik-narik ujung baju tidur yang ia kenakan.
"Ya ampun, bini gue ko ngegemesin banget ya" gumam Cio dalam hati.
"Ci, Ayok"
"Gendong" ucap Shani malu-malu, membuat Cio tersenyum manis melihatnya.
Cio berjongkok memungguni Shani.
"Ayo"
Dengan perlahan Shani menaiki punggung Cio dan melingkarkan tangan nya di leher Cio.
Cio berjalan kearah tempat tidur dengan Shani yang menyandarkan kepalanya dengan nyaman di punggung Cio.
"Nyampe nih, ayo turun" ucap Cio, namun Shani menggelengkan kepalanya.
"Ga mau, aku kan belum tidur"
"Lah, masa iya aku harus terus gendong kamu sampai kamu tidur"
Shani tak menjawab, ia hanya menganggukan kepalanya yang masih bersandar di punggung Cio.
"Buset dah, mana berat banget lagi badannya" Gumam Cio namun sepertinya Shani masih bisa mendengarnya.
"Ngomong apa barusan? hm?"
Cio bergidik ngeri mendengar bisikan Shani di telinganya, entah kenapa firasatnya menjadi tak enak.
"Adaaw Ci.. sakit, lepas ih KDRT ini namanya" Cio meringis saat Shani menggigit daun telinganya.
"Makanya ga usah ngomong yang aneh-aneh, udah cepet jalan! Keliling-keliling sampai aku tidur"
"Iya..iya" Cio hanya bisa pasrah saat muncul sifat manja istrinya itu, tapi kemudian ia tersenyum, bahkan ia pun tak tau kenapa yang jelas saat ini hatinya merasa amat sangat bahagia.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Terbaik
FanfictionKita menikah tanpa didasari oleh rasa cinta sebelumnya, bagimu aku adalah suatu kesalahan tapi bagiku kamu lebih dari suatu kebahagiaan.