"Saya harus buru-buru. Masih banyak urusan yang harus diurus. Jadi, saya akan singkat saja," sahut wanita elegan berambut pendek itu. Saat itu ia sedang merapikan blazer putih mahalnya sambil sesekali melirik sekilas gadis muda di hadapannya. "Tugasmu di rumah ini cukup mudah. Setiap pagi kau harus menyapu dan mengepel rumah ini dari lantai satu sampai lantai tiga. Lap semua jendela, cuci semua kamar mandi, dan jangan lupa bersihkan kamar-kamar. Sore hari kau harus menyiram kebun depan dan halaman belakang." Wanita itu menarik napas sejenak sebelum bertanya, "Mengerti?"
Gadis di hadapannya tidak punya pilihan lain selain mengangguk.
Wanita tadi mengamati gadis bermata sendu di hadapannya dari ujung kaki hingga ke wajahnya. Sedikit kernyitan muncul di dahinya melihat sepatu berlubang dan celana pendek usang yang dikenakan gadis itu. Kaus putih yang dipakai gadis itu pun sudah kusam dan kumal karena sudah berkali-kali dicuci. Wajahnya... polos dan tidak berkarakter. Rambutnya dipotong cukup rapi sebahu tanpa model.
Penampilan sederhana si gadis muda membuat wanita itu tersenyum tipis. Tampaknya pembantu barunya ini lugu dan bisa dipercaya. Tapi pengalaman hidupnya selama empat puluh lima tahun mengajarkan kalau penampilan bisa berbohong.
Gadis itu menatap khawatir ke arahnya. Ia takut akan penilaian wanita itu.
Detik berlalu sebelum akhirnya wanita itu berkata lagi, "Kalau begitu, saya pergi sekarang. Kau boleh menanyakan semua detail pekerjaan ini sama Rini atau Yanti, si tukang masak. Mereka semua bakal menunjukkan letak kamar tidurmu dan segala hal tentang rumah ini." Melirik jam tangannya, ia melanjutkan, "Saya tidak punya waktu lagi."
Gadis muda itu terpaku di tempatnya seraya memandang wanita itu berjalan pergi. Ia tidak bisa berhenti mengagumi pakaian modis dan gaya anggun yang dimiliki wanita itu.
Seketika wanita itu berbalik. "Tadi kaubilang siapa namamu?"
"El-elsa. Nama saya Elsa," jawab gadis itu tergagap.
Wanita itu hanya mengangguk singkat sebelum menghilang keluar rumah.
*****
Elsa mengembuskan napas yang ditahannya sejak tadi. Ia begitu gugup dan panik. Sebelumnya ia tidak yakin bakal diterima bekerja di rumah ini. Ia kan tidak bisa apa-apa.
"Dasar anak jelek yang tak berguna!"
Elsa menggeleng-gelengkan kepala untuk menghapus kata-kata itu dari pikirannya. Ia harus mulai belajar mengetahui seluk-beluk rumah ini sekarang.
Menarik napas dalam-dalam, ia pun beranjak dari tempat itu untuk mencari Rini.
*****
"Kau ikut aku ke Bandung saja, Sa. Rumah keluarga Jurnadi kekurangan pembantu. Kita bisa bekerja bersama-sama di rumah itu."
Elsa menatap Rini, tetangganya dengan skeptis. Mereka seumur dan mereka sudah berteman dekat selama beberapa tahun. Saat itu, Rini sedang merapikan rambut pendeknya sekaligus mengamati wajah cantik eksotisnya di depan cermin. Ia selalu merasa iri melihat kecantikan temannya itu. Sekalipun tidak begitu pintar, Rini banyak dikejar oleh pemuda-pemuda di pinggir Kota Cirebon itu.
Rini berbalik ke arah Elsa. "Ayolah," ajaknya penuh semangat. "Majikanku itu cukup murah hati. Lagipula nenekmu kan sudah meninggal. Ibumu juga tidak jelas keberadaannya. Daripada kau luntang-lantung begini, mendingan kamu kerja saja."
Elsa menggigit bibirnya. Menjadi pembantu tidak pernah terlintas dalam pikirannya. Ia bahkan tidak yakin dirinya bisa melakukan pekerjaan itu.
"Tapi... aku tidak punya pengalaman apa pun," ucapnya pelan sedikit melamun.
Rini mengibaskan tangannya. "Alah... Jadi pembantu itu nggak butuh pengalaman. Yang penting nurut saja sama majikan."
YOU ARE READING
It Has Always Been You (Years, #3)
RomanceDengan membawa masa lalunya yang kelam, Elsa memasuki kehidupan barunya di rumah keluarga Jurnadi. Ia bekerja sebagai pelayan di rumah itu sekalipun seharusnya ia berada di sekolah untuk belajar dan mengejar cita-citanya. Tapi sejak itulah hidupnya...