Sabtu siang itu, Paul dan Elsa seperti biasa makan siang bersama. Memang itulah rutinitas mereka. Siang hari mereka harus bertemu untuk mendiskusikan banyak hal tentang kerjaan. Dan itu termasuk hari Sabtu dan Minggu.
Paul sampai lebih awal di restoran yang ia pilih sebagai tempat janjian. Sambil menunggu, ia mencoba menenangkan diri dengan melihat-lihat suasana di sekelilingnya.
Ia merasa lelah akhir-akhir ini. Mungkin itu karena usianya yang sudah hampir menginjak 36 tahun.
Tidak jauh dari mejanya, sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan seorang anak perempuan duduk bersama. Anak perempuan keluarga tersebut menarik perhatiannya. Umur anak itu pasti tidak lebih dari lima tahun. Rambut ikalnya begitu manis. Wajah kecilnya yang montok begitu menggemaskan. Dan saat anak itu tertawa, Paul hampir tersenyum melihat kelucuan dan kepolosan anak itu.
Rasanya pasti menyenangkan bisa mempunyai anak dan keluarga sendiri. Tapi dalam sekejap ia langsung melupakan gagasan itu. Ia tidak punya waktu untuk hal normal seperti itu. Ia harus bekerja, bekerja, dan bekerja.
"Kau datang kepagian lagi." Elsa ternyata sudah sampai dan duduk di depannya.
"Hanya kebetulan. Biasanya aku yang selalu datang terlambat kan?"
"Kau kan bosnya," kata Elsa sambil mengerutkan dahinya. "Kau kurang tidur kemarin?"
"Nggak. Memangnya kenapa?"
"Kau kelihatan capek. Kantong matamu itu, lho. Kau juga lebih kurus."
Paul mengangkat bahu. "Aku sibuk akhir-akhir ini."
"Kau memang selalu sibuk."
"Kau juga."
Elsa meringis. "Tapi aku masih bisa mengatasinya. Kau harus mengurangi waktu kerjamu yang berlebihan. Kalau sakit kan repot."
"Yah, aku memang berencana pulang lebih pagi hari ini supaya aku bisa cukup istirahat."
Elsa hanya mengangguk singkat dan tidak berkata apa-apa.
Tiba-tiba Paul teringat sesuatu dan bertanya, "Ah, seingatku kau sedang mencari keberadaan orangtuamu kan?"
Elsa tidak langsung menjawab. "Ya," ucapnya setelah diam beberapa lama.
"Jadi?" tanya Paul mengabaikan raut melamun yang sesaat ada di wajah Elsa tadi.
"Ayahku masih tinggal di tempat yang sama. Kurasa ia sudah pensiun dan membiarkan anak-anaknya yang mengurusnya," jawab Elsa datar sambil menekuri bunga plastik yang ada di tengah meja.
"Kau tidak apa-apa kan?" tanya Paul sedikit cemas.
Elsa menatap Paul tanpa emosi. "Tentu saja tidak apa-apa. Aku tidak pernah terlalu peduli padanya. Aku tidak pernah menganggap dia ayahku walau..." Ia mendesah. "Kadang-kadang aku merasa ingin menghukumnya atas kesialan yang diberikannya padaku dan juga ibuku."
Paul mengangguk mengerti dan tidak berkomentar apa pun.
"Soal ibuku... orang yang kusuruh untuk menyelidiki belum memberi kabar padaku," lanjut Elsa.
"Nanti juga pasti ada kabar." Lalu untuk menyingkirkan suasana tidak enak itu, Paul berkata, "Kita pesan makanannya sekarang. Masih banyak yang perlu dikerjakan."
*****
Di depan Paul, Elsa membuka buku menu dan memilih makanan di dalamnya. Ia tergoda memesan maccaroni and cheese lagi, tapi kemarin ia sudah makan itu. Ia butuh sesuatu yang bergizi dan ia tidak boleh mengabaikan kesehatannya hanya karena ingin merasakan sedikit kenangan masa lalu. Lagipula semua itu ilusi. Karena bukan Nathan yang membelikan maccaroni and cheese itu kan?
YOU ARE READING
It Has Always Been You (Years, #3)
RomanceDengan membawa masa lalunya yang kelam, Elsa memasuki kehidupan barunya di rumah keluarga Jurnadi. Ia bekerja sebagai pelayan di rumah itu sekalipun seharusnya ia berada di sekolah untuk belajar dan mengejar cita-citanya. Tapi sejak itulah hidupnya...